Sabtu, 13 Juni 2015
Troli Lipat Multifunction Folder Trolley rakminimarket.co
Home » Rak Gondola • Rak Minimarket • Rak Toko »
Troli Lipat Multifunction Folder Trolley
Troli Lipat Multifunction Folder Trolley
Posted by rakminimarketco | on
May 13, 2015 | 1 Comment
Ttolley
lipat / Menjual Berbagai Display Toko / Minimarket / Supermarket /
TROLLEY
Trolley
lipat
troli-lipat-multifunction-folded-trolley
Price: Rp.450.000,-
|
Product
code: multifungsi In stock: yes
|
Dijual
Trolley Lipat Multi Fungsi
Troli
Lipat Multifunction Folder Trolley
Trolley
dengan bahan Alumunium, steel dan plastik,
banyak
manfaat nya
- kuat dan ringan
- mudah membawa barang barang berat
- mencegah sakit punggung dan sakit lutut.
- Sangat praktis dan effisien
- mudah dibawa-bawa
- tidak memerlukan tempat yang besar untuk menyimpan trolley ini
- bisa digunakan untuk bepergian keluar negeri (travelling)
Detailed Product
Trolley lipat Description
portable, foldable.
lightweight aluminum construction. fold flat for easy storage.
Main material: aluminum , steel and plastic
Folding size: 64×38.5x5cm
Extending height: 90 and 100cm
Loading plate size: 28×38.5cm
Wheel size: 12cm
Net weight: 3.14kgs
max load: 60kgs
Main material: aluminum , steel and plastic
Folding size: 64×38.5x5cm
Extending height: 90 and 100cm
Loading plate size: 28×38.5cm
Wheel size: 12cm
Net weight: 3.14kgs
max load: 60kgs
Nama:
Muhammad Yusuf
E-mail: jayarakminimarket@gmail.com
Pin BB : 5390BDB8
WhatsApp & Line : 081334530892
Nomor Telpon : 081334530892, 08561262221
Alamat: JL. Masjid No 28 RT 03, RW 01 Ciracas, Jakarta Timur
E-mail: jayarakminimarket@gmail.com
Pin BB : 5390BDB8
WhatsApp & Line : 081334530892
Nomor Telpon : 081334530892, 08561262221
Alamat: JL. Masjid No 28 RT 03, RW 01 Ciracas, Jakarta Timur
Senin, 01 Juni 2015
Surat-surat Nabi Muhammad SAW Kepada Para Raja
Setelah diangkat menjadi Nabi, Muhammad SAW mengemban amanah dakwah Islam yang tak mudah. Berbagai rintangan dihadapinya. Namun Muhammad saw adalah seorang diplomat handal. Dirinya membangun komunikasi dengan sejumlah pemimpin negeri untuk mengajaknya menyembah Allah SWT.
Selama 13 tahun memimpin Madinah, Rasulullah SAW melakukan upaya-upaya politik diplomatik kepada sejumlah raja, tokoh agama dan suku di berbagai belahan jazirah Arab hingga ke Afrika, Romawi dan Persia.
Langkah dakwah politik itu dilakukan Rasulullah SAW dengan mengirim surat seruan Tauhid melalui utusan sahabat-sahabatnya. Dalam sejarah, tercatat sekitar 43 surat yang ditulis langsung Rasulullah SAW berisi seruan tauhid kepada para raja, tokoh agama dan kepala suku.
Berikut beberapa surat yang dikirimkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada 5 pemimpin negara dan suku bangsa, seperti yang dikutip dari buku “Rasail An-Nabi ila Al-Muluk wa Al-Umara wa Al-Qabail” karya Khalid Sayid Ali, di dalam buku ‘Jejak Nabi Muhammad dan Para Sahabat':
1. Kepada Najasyi
Najasyi adalah Raja Habasyah dan bernama Ashham bin Abjar. Nabi mengutus sahabat Amru bin Umayah Adh-Dhamri kepada Najasyi untuk menyampaikan suratnya yang berisi:
“Bismillahirrahmannirrahim. Dari Muhammad Rasulullah, salam kepada Najasyi, pembesar Habasyah. Salam kepada siapa yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du.Sesungguhnya aku bertauhid kepada yang tiada Tuhan kecuali Dia, Yang Maharaja yang Maha Suci, Yang Maha Pemberi Keselamatan, Yang Maha Pemberi Keamanan, Yang Maha Pelindung. Dan aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam (tiupan) roh dari Allah (yang terjadi) dengan kalimat-Nya (yang disampaikannya) kepada Maryam yang perawan, yang baik dan menjaga diri (suci) lalu mengandung (bayi) Isa dari wahyu dan tiupan-Nya sebagaimana menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Aku mengajak engkau kepada Allah yang Esa, tidak mempersekutukan sesuatu bagi-Nya dan taat patuh kepada-Nya dan mengikuti aku dan meyakini (ajaran) yang datang kepadaku. Sesungguhnya aku utusan Allah. Dan aku mengajak engkau dan tentaramu kepada Allah Yang Maha Perkasa dan Agung. Aku telah menyampaikan dan telah aku nasihatkan; maka terimalah nasihatku. Salam bagi yang mengikuti petunjuk ini.”Setelah Najasyi membacanya, Amru melanjutkan, “Apabila Anda menolak ajakan Nabi yang buta aksara itu, maka sama halnya dengan sikap kaum Yahudi terhadap Isa bin Maryam. Beliau telah menyebarkan utusan-utusannya kepada umat manusia, dan harapan kepada Anda lebih besar ketimbang harapan kepada mereka; perasaan aman dari Anda juga melebihi mereka karena kebaikan Anda yang lalu serta pahala yang menunggu Anda.
“Mendengar penjelasan itu, Najasyi menanggapi, “Aku bersaksi kepada Allah. Sesungguhnya dialah (Muhammad) Nabi yang ditunggu-tunggu ahli Kitab. Kabar gembira dari Musa tentang datangnya pengendara unta (Muhammad). Berita yang disampaikan kepadamu tidak sama dengan kenyataan yang ada. Pengikut dan pendukungmu dari kaum Habasyah masih amat sedikit, berilah tenggang waktu sampai aku mampu melunakkan hati mereka.”
2. Kepada Heraklius
Pada tahun ke-6 H, sekembalinya dari Hudaibiyah, Rasulullah saw mengutus sahabatnya, Dihyah bin Khalifah untuk menyampaikan surat kepada Heraklus. Dihyah menghadap Heraklus di istana di Yerussalem, Palestina.
Sebelum menemui Heraklus, mereka mendapat keterangan jika menghadap raja, mereka harus sujud dan tidak mengangkat kepala sampai ada perintah dari raja. Dihyah mengatakan, “Aku tidak akan melakukan hal semacam itu kecuali kepada Allah.
“Kemudian orang-orang di istana mengatakan, “Kalau sikapmu demikian, maka suratmu sama sekali tidak akan diterima. Ada jalan keluar agar suratmu diterima tanpa engkau harus sujud.”“Di setiap tangga singgasana ada sofa tempat duduk kaisar. Letakkan surat itu di bawah sana. Tidak ada akan ada orang yang berani menyentuhnya kecuali dia akan membaca, dan akan memanggil orang yang meletakkannya.
“Dihyah pun melaksanakan saran tersebut. Saat sang raja menemukan surat dalam bahasa Arab, dia memanggil seorang penerjemah. Surat tersebut bunyinya:“Bismillahirrahmannirrahhim. Dari Muhammad, hamba dan utusan Allah kepada Heraklius penguasa Romawi. Salam sejahtera bagi siapapun yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du.Dengan ini, aku menyerumu untuk memeluk Islam.
Masuk Islamlah, maka Allah akan mengganjarmu dengan pahala dua kali lipat. Akan tetapi, jika engkau menolak, engkau harus menanggung dosa orang-orang Arisi. Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah, dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.
Sebagian kita tidak pula menjadikan tuhan selain Dia. Jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).
“Setelah membaca surat itu, Heraklius menyampaikan bahwa dirinya telah masuk Islam. Namun, perkataannya itu hanya dusta belaka. Sebenarnya, Heraklius tidak memiliki alasan untuk tidak masuk Islam setelah meyakini ajaran Nabi. Namun, dirinya teramat sayang dengan kedudukannya sebagai raja.
3. Kepada Uskup Dhughathir
Selain mengirimkan surat kepada Heraklius, Nabi juga menulis surat yang ditujukan kepada uskup terpandang di Romawi, yaitu uskup Dhughatir. Surat yang diantarkan juga oleh Dihyah tersebut berisi:
“Salam bagi yang beriman. Atas dasar itu sesungguhnya Isa bin Maryam adalah tiupan roh Allah, terjadi dengan kalimat-Nya yang benar (haq), disampaikan kepada Maryam yang suci. Aku beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya serta apa yang diberikan kepada para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami hanya tunduk patuh kepadanya. Salam yang mengikuti petunjuk.”
Setelah membaca surat tersebut, sang uskup berkata kepada Dihyah, “Demi Allah, kawannya adalah seorang Nabi yang diutus. Kami mengenali sifat-sifat dan namanya semuanya tercantum dalam kitab-kitab kami.”
Uskup tersebut kemudian menanggalkan keuskupannya yang berwarna hitam dan digantinya dengan jubah berwarna putih. Dia mengambil tongkatnya, lalu beranjak menuju ke gereja. Di sana, banyak orang sedang berkumpul. Di hadapan mereka, uskup berkata, “Wahai segenap orang Romawi, aku telah menerima surat dari Ahmad yang mengajak kita kepada Allah. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Mendengar ucapannya tersebut, orang-orang pun serempak menyerang dan memukulinya bertubi-tubi hingga tewas.
Setelah kejadian itu, Dihyah kembali kepada Heraklius. Kemudian Heraklius berujar, “Aku sudah memberitahukan kepadamu bahwa kami mencemaskan diri sendiri dan tindakan kekerasan mereka. Demi Allah, uskup Dhughatir lebih mulia daripada aku.”
4. Kepada Muqauqis (penguasa Iskandaria, Mesir)
Nabi mengirimkan sahabatnya, Hatsib bin Abu Balta’ah untuk menyampaikan surat kepada Muqauqis. Diriwayatkan pula, Nabi juga mengutus seorang budak yang telah dimerdekakan dan menjadi anak angkat sahabat Abu Raha Al-Ghifari, yang bernama Jira untuk menemani Hatsib.Hatsib menemui Muqauqis di balai istana di Iskandaria.
Surat tersebut berisi:
“Bismillahirrahmannirrahim. Dari Muhammad hamba Allah dan Rasulullah. Kepada Muqauqis Peguasa Qibthi. Salam sejahtera kepada yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Aku mengajak Anda dengan dakwah Islam. Anutlah agama Islam dan Anda selamat. Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Tetapi apabila Anda berpaling, Anda akan memikul dosa kaum Qibthi. Wahai Ahli kitab, marilah menuju ke suatu kalimat ketetapan yang tidak terdapat suatu perselisihan di antara kita, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun. Tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah (muslimin).
“Setelah membaca surat tersebut, Muqauqis berbincang dengan Hatsib. Dia bertanya tentang Nabi, dan ia menyadari bahwa baik Nabi maupun Hatsib adalah orang yang bijaksana. Muqauqis kemudian menyimpan surat tersebut ke dalam kotak dan mengutus seorang sekretarisnya untuk menulis surat balasan yang isinya:
“Bismillahirrahmannirrahim. Untuk Muhammad bin Abdullah dari Muqauqis penguasa Qibthi. Salam sejahtera bagi Anda. Amma ba’du. Aku telah membaca surat Anda dan memahami apa yang tersirat di dalamnya serta terhadap apa yang Anda serukan. Anda telah mengetahui bahwa Anda adalah Nabi yang akan datang, dan aku kira muncul di negeri Syam. Aku sangat menghormati utusan Anda.”
5. Kepada Kisra Raja Persia
Nabi juga mengirimkan surat kepada Raja Persia yang bergelar Kisra. Namanya saat itu adalah Abrawiz bin Hurmuz bin Anu Syirwan. Dia menjadi penguasa Persia selama 48 tahun.
Ke Persia, Nabi mengutus sahabatnya Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmi yang sering berkunjung ke Kisra. Isi surat tersebut:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya. Kepada Kisra penguasa rakyat Persia. Salam sejahtera bagi yang mengikuti petunjuk dan beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Aku bersaksi behawa tiada Tuhan kecuali Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Aku mengajak dengan seruan Allah.
Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada seluruh umat manusia supaya dapat memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup hatinya dan supaya ketetapan azab kepada orang-orang kafir itu pasti. Masuklah Anda ke dalam Islam, niscaya akan selamat. Jika kamu menolak, sesungguhnya kamu memikul dosa kaum Majusi.”
Setelah membaca surat tersebut, Kisra memberikan seonggok pasir kepada Abdullah untuk diteruskan kepada Nabi Muhammad saw. Abdullah pun diusir dengan kasar.
Ketika mendapat laporan dari Abdullah dan menerima pasir dari Kisra, Nabi Muhammad saw mengatakan, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya sebagaimana ia merobek-robek suratku. Dia mengirimkan sekantong pasir kepadaku, dan kalian nanti akan menguasai seluruh tanah negerinya.”
Allah berkenan mengabulkan doa Nabi. Kisra dan saudara-saudaranya mati dibunuh oleh anaknya sendiri yang bernama Syirawih.
Pada akhirnya, Badzan, Gubernur Persia di Yaman justru mematuhi ajakan seruan Nabi. Ia mengumumkan keislamannya dan diikuti oleh orang-orang keturunan Persia di masa-masa selanjutnya.
http://jayarakminimarket.com/trolley-barang-troli/
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-solo
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-paling-murah
Read More
Selama 13 tahun memimpin Madinah, Rasulullah SAW melakukan upaya-upaya politik diplomatik kepada sejumlah raja, tokoh agama dan suku di berbagai belahan jazirah Arab hingga ke Afrika, Romawi dan Persia.
Langkah dakwah politik itu dilakukan Rasulullah SAW dengan mengirim surat seruan Tauhid melalui utusan sahabat-sahabatnya. Dalam sejarah, tercatat sekitar 43 surat yang ditulis langsung Rasulullah SAW berisi seruan tauhid kepada para raja, tokoh agama dan kepala suku.
Berikut beberapa surat yang dikirimkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada 5 pemimpin negara dan suku bangsa, seperti yang dikutip dari buku “Rasail An-Nabi ila Al-Muluk wa Al-Umara wa Al-Qabail” karya Khalid Sayid Ali, di dalam buku ‘Jejak Nabi Muhammad dan Para Sahabat':
1. Kepada Najasyi
Najasyi adalah Raja Habasyah dan bernama Ashham bin Abjar. Nabi mengutus sahabat Amru bin Umayah Adh-Dhamri kepada Najasyi untuk menyampaikan suratnya yang berisi:
“Bismillahirrahmannirrahim. Dari Muhammad Rasulullah, salam kepada Najasyi, pembesar Habasyah. Salam kepada siapa yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du.Sesungguhnya aku bertauhid kepada yang tiada Tuhan kecuali Dia, Yang Maharaja yang Maha Suci, Yang Maha Pemberi Keselamatan, Yang Maha Pemberi Keamanan, Yang Maha Pelindung. Dan aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam (tiupan) roh dari Allah (yang terjadi) dengan kalimat-Nya (yang disampaikannya) kepada Maryam yang perawan, yang baik dan menjaga diri (suci) lalu mengandung (bayi) Isa dari wahyu dan tiupan-Nya sebagaimana menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Aku mengajak engkau kepada Allah yang Esa, tidak mempersekutukan sesuatu bagi-Nya dan taat patuh kepada-Nya dan mengikuti aku dan meyakini (ajaran) yang datang kepadaku. Sesungguhnya aku utusan Allah. Dan aku mengajak engkau dan tentaramu kepada Allah Yang Maha Perkasa dan Agung. Aku telah menyampaikan dan telah aku nasihatkan; maka terimalah nasihatku. Salam bagi yang mengikuti petunjuk ini.”Setelah Najasyi membacanya, Amru melanjutkan, “Apabila Anda menolak ajakan Nabi yang buta aksara itu, maka sama halnya dengan sikap kaum Yahudi terhadap Isa bin Maryam. Beliau telah menyebarkan utusan-utusannya kepada umat manusia, dan harapan kepada Anda lebih besar ketimbang harapan kepada mereka; perasaan aman dari Anda juga melebihi mereka karena kebaikan Anda yang lalu serta pahala yang menunggu Anda.
“Mendengar penjelasan itu, Najasyi menanggapi, “Aku bersaksi kepada Allah. Sesungguhnya dialah (Muhammad) Nabi yang ditunggu-tunggu ahli Kitab. Kabar gembira dari Musa tentang datangnya pengendara unta (Muhammad). Berita yang disampaikan kepadamu tidak sama dengan kenyataan yang ada. Pengikut dan pendukungmu dari kaum Habasyah masih amat sedikit, berilah tenggang waktu sampai aku mampu melunakkan hati mereka.”
2. Kepada Heraklius
Pada tahun ke-6 H, sekembalinya dari Hudaibiyah, Rasulullah saw mengutus sahabatnya, Dihyah bin Khalifah untuk menyampaikan surat kepada Heraklus. Dihyah menghadap Heraklus di istana di Yerussalem, Palestina.
Sebelum menemui Heraklus, mereka mendapat keterangan jika menghadap raja, mereka harus sujud dan tidak mengangkat kepala sampai ada perintah dari raja. Dihyah mengatakan, “Aku tidak akan melakukan hal semacam itu kecuali kepada Allah.
“Kemudian orang-orang di istana mengatakan, “Kalau sikapmu demikian, maka suratmu sama sekali tidak akan diterima. Ada jalan keluar agar suratmu diterima tanpa engkau harus sujud.”“Di setiap tangga singgasana ada sofa tempat duduk kaisar. Letakkan surat itu di bawah sana. Tidak ada akan ada orang yang berani menyentuhnya kecuali dia akan membaca, dan akan memanggil orang yang meletakkannya.
“Dihyah pun melaksanakan saran tersebut. Saat sang raja menemukan surat dalam bahasa Arab, dia memanggil seorang penerjemah. Surat tersebut bunyinya:“Bismillahirrahmannirrahhim. Dari Muhammad, hamba dan utusan Allah kepada Heraklius penguasa Romawi. Salam sejahtera bagi siapapun yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du.Dengan ini, aku menyerumu untuk memeluk Islam.
Masuk Islamlah, maka Allah akan mengganjarmu dengan pahala dua kali lipat. Akan tetapi, jika engkau menolak, engkau harus menanggung dosa orang-orang Arisi. Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah, dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.
Sebagian kita tidak pula menjadikan tuhan selain Dia. Jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).
“Setelah membaca surat itu, Heraklius menyampaikan bahwa dirinya telah masuk Islam. Namun, perkataannya itu hanya dusta belaka. Sebenarnya, Heraklius tidak memiliki alasan untuk tidak masuk Islam setelah meyakini ajaran Nabi. Namun, dirinya teramat sayang dengan kedudukannya sebagai raja.
3. Kepada Uskup Dhughathir
Selain mengirimkan surat kepada Heraklius, Nabi juga menulis surat yang ditujukan kepada uskup terpandang di Romawi, yaitu uskup Dhughatir. Surat yang diantarkan juga oleh Dihyah tersebut berisi:
“Salam bagi yang beriman. Atas dasar itu sesungguhnya Isa bin Maryam adalah tiupan roh Allah, terjadi dengan kalimat-Nya yang benar (haq), disampaikan kepada Maryam yang suci. Aku beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya serta apa yang diberikan kepada para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami hanya tunduk patuh kepadanya. Salam yang mengikuti petunjuk.”
Setelah membaca surat tersebut, sang uskup berkata kepada Dihyah, “Demi Allah, kawannya adalah seorang Nabi yang diutus. Kami mengenali sifat-sifat dan namanya semuanya tercantum dalam kitab-kitab kami.”
Uskup tersebut kemudian menanggalkan keuskupannya yang berwarna hitam dan digantinya dengan jubah berwarna putih. Dia mengambil tongkatnya, lalu beranjak menuju ke gereja. Di sana, banyak orang sedang berkumpul. Di hadapan mereka, uskup berkata, “Wahai segenap orang Romawi, aku telah menerima surat dari Ahmad yang mengajak kita kepada Allah. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Mendengar ucapannya tersebut, orang-orang pun serempak menyerang dan memukulinya bertubi-tubi hingga tewas.
Setelah kejadian itu, Dihyah kembali kepada Heraklius. Kemudian Heraklius berujar, “Aku sudah memberitahukan kepadamu bahwa kami mencemaskan diri sendiri dan tindakan kekerasan mereka. Demi Allah, uskup Dhughatir lebih mulia daripada aku.”
4. Kepada Muqauqis (penguasa Iskandaria, Mesir)
Nabi mengirimkan sahabatnya, Hatsib bin Abu Balta’ah untuk menyampaikan surat kepada Muqauqis. Diriwayatkan pula, Nabi juga mengutus seorang budak yang telah dimerdekakan dan menjadi anak angkat sahabat Abu Raha Al-Ghifari, yang bernama Jira untuk menemani Hatsib.Hatsib menemui Muqauqis di balai istana di Iskandaria.
Surat tersebut berisi:
“Bismillahirrahmannirrahim. Dari Muhammad hamba Allah dan Rasulullah. Kepada Muqauqis Peguasa Qibthi. Salam sejahtera kepada yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Aku mengajak Anda dengan dakwah Islam. Anutlah agama Islam dan Anda selamat. Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Tetapi apabila Anda berpaling, Anda akan memikul dosa kaum Qibthi. Wahai Ahli kitab, marilah menuju ke suatu kalimat ketetapan yang tidak terdapat suatu perselisihan di antara kita, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun. Tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah (muslimin).
“Setelah membaca surat tersebut, Muqauqis berbincang dengan Hatsib. Dia bertanya tentang Nabi, dan ia menyadari bahwa baik Nabi maupun Hatsib adalah orang yang bijaksana. Muqauqis kemudian menyimpan surat tersebut ke dalam kotak dan mengutus seorang sekretarisnya untuk menulis surat balasan yang isinya:
“Bismillahirrahmannirrahim. Untuk Muhammad bin Abdullah dari Muqauqis penguasa Qibthi. Salam sejahtera bagi Anda. Amma ba’du. Aku telah membaca surat Anda dan memahami apa yang tersirat di dalamnya serta terhadap apa yang Anda serukan. Anda telah mengetahui bahwa Anda adalah Nabi yang akan datang, dan aku kira muncul di negeri Syam. Aku sangat menghormati utusan Anda.”
5. Kepada Kisra Raja Persia
Nabi juga mengirimkan surat kepada Raja Persia yang bergelar Kisra. Namanya saat itu adalah Abrawiz bin Hurmuz bin Anu Syirwan. Dia menjadi penguasa Persia selama 48 tahun.
Ke Persia, Nabi mengutus sahabatnya Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmi yang sering berkunjung ke Kisra. Isi surat tersebut:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya. Kepada Kisra penguasa rakyat Persia. Salam sejahtera bagi yang mengikuti petunjuk dan beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Aku bersaksi behawa tiada Tuhan kecuali Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Aku mengajak dengan seruan Allah.
Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada seluruh umat manusia supaya dapat memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup hatinya dan supaya ketetapan azab kepada orang-orang kafir itu pasti. Masuklah Anda ke dalam Islam, niscaya akan selamat. Jika kamu menolak, sesungguhnya kamu memikul dosa kaum Majusi.”
Setelah membaca surat tersebut, Kisra memberikan seonggok pasir kepada Abdullah untuk diteruskan kepada Nabi Muhammad saw. Abdullah pun diusir dengan kasar.
Ketika mendapat laporan dari Abdullah dan menerima pasir dari Kisra, Nabi Muhammad saw mengatakan, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya sebagaimana ia merobek-robek suratku. Dia mengirimkan sekantong pasir kepadaku, dan kalian nanti akan menguasai seluruh tanah negerinya.”
Allah berkenan mengabulkan doa Nabi. Kisra dan saudara-saudaranya mati dibunuh oleh anaknya sendiri yang bernama Syirawih.
Pada akhirnya, Badzan, Gubernur Persia di Yaman justru mematuhi ajakan seruan Nabi. Ia mengumumkan keislamannya dan diikuti oleh orang-orang keturunan Persia di masa-masa selanjutnya.
http://jayarakminimarket.com/trolley-barang-troli/
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-solo
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-paling-murah
Ternyata Malaikat Izra’il Menziarahi Kita Setiap 21 Menit
Betapa sering malaikat maut melihat dan menatap wajah seseorang, yaitu dalam waktu 24 jam sebanyak 70 kali. Seandainya manusia sadar hakikat tersebut, niscaya dia tidak akan lupa untuk mengingat mati. Tetapi oleh karena malaikat maut adalah makhluk ghaib, manusia tidak melihat kehadirannya, sebab itu manusia tidak menyadari apa yang dilakukan oleh Malaikatulmaut.
Coba kita lihat » 1 hari=24 jam=1440 menit. 1440 menit/70 kali malaikat melihat kita= 20.571 menit, itu berarti Sang pencabut nyawa menziarahi kita setiap 21 menit.
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia di muka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang merenungi wajah seseorang, didapati orang itu sedang bergelak-ketawa. Maka berkata Izrail: ‘Alangkah herannya aku melihat orang ini, padahal aku diutus oleh Allah untuk mencabut nyawanya kapan saja, tetapi dia masih terlihat bodoh dan bergelak ketawa’.”
Seorang sahabat pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling cerdas?” Rasulullah SAW menjawab: “Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas.”
[HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy] .
Betapa banyak pemuda yang tertawa pada setiap hari nya. Padahal kain kafan mereka sedang ditenun dalam keadaan mereka tidak sadar.
Fatih Karim
http://jayarakminimarket.com/trolley-barang-troli/
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-solo
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-paling-murah
Read More
Coba kita lihat » 1 hari=24 jam=1440 menit. 1440 menit/70 kali malaikat melihat kita= 20.571 menit, itu berarti Sang pencabut nyawa menziarahi kita setiap 21 menit.
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia di muka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang merenungi wajah seseorang, didapati orang itu sedang bergelak-ketawa. Maka berkata Izrail: ‘Alangkah herannya aku melihat orang ini, padahal aku diutus oleh Allah untuk mencabut nyawanya kapan saja, tetapi dia masih terlihat bodoh dan bergelak ketawa’.”
Seorang sahabat pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling cerdas?” Rasulullah SAW menjawab: “Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas.”
[HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy] .
Betapa banyak pemuda yang tertawa pada setiap hari nya. Padahal kain kafan mereka sedang ditenun dalam keadaan mereka tidak sadar.
Fatih Karim
http://jayarakminimarket.com/trolley-barang-troli/
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-solo
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-paling-murah
Kaum Muslim Berserikat Dalam Tiga Hal
Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya: Telah memberitahu kami Ali bin Ja’ad al-Lu’lu’iy. Telah memberitahu kami Hariz bin Ustman, dari Hibban bin Zaid al-Syar’abiy, dari laki-laki yang berasal dari Qarn. Telah memberitahu kami Musaddad. Telah memberitahu kami Isa bin Yunus. Telah memberitahu kami Hariz bin Ustman. Telah memberitahu kami Abu Khidasy. Dan ini adalah lafadh Ali dari laki-laki di antara kaum Muhajirin, di antara sahabat Nabi saw. Ia berkata saya mengikuti Nabi saw berperang sebanyak tiga kali, sedang saya mendengar beliau bersabda:
« اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“
Pengarang kitab “Aunul Ma’bûd” berkata: “Saya mengikuti Nabi saw berperang sebanyak tiga kali, yakni tiga kali peperangan.”
“Dalam air“: Maksudnya adalah air yang tidak terjadi dari pencarian dan usaha seseorang, seperti air saluran pribadi, dan air sumur, serta belum dimasukkan dalam wadah, kolam atau selokan yang airnya dari sungai.
“Padang rumput“: Maksudnya adalah semua tumbuhan atau tanaman yang basah maupun yang kering.
Al-Khathabi berkata: Arti kata al-kalâ’ (padang rumput) adalah tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di tanah mati atau tanah tak bertuan yang dipelihara masyarakat, dimana tidak ada seorang pun yang memilikinya atau memagarinya. Adapun al-kalâ’ (padang rumput), jika ia berada di tanah yang ada pemiliknya, maka ia adalah miliknya, sehingga tidak seorang pun yang ikut memilikinya, kecuali dengan izin darinya.
“Dan dalam Api“. Maksud dari berserikat dalam api adalah, bahwa ia tidak dilarang menyalakan lampu darinya, dan membuat penerangan dengan cahayanya, namuan orang yang menyalakannya dilarang untuk mengambil bara api dirinya, sebab menguranginya akan menyebabkan pada padamnya api.
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan api adalah batu yang mengeluarkan api (batu api) dimana tidak dilarang mengambil sesuatu darinya jika ia berada pada tanah mati. Al-Allamah Imam al-Syaukani dalam “Nailul Authâr” berkata: Ketahuilah bahwa hadits-hadits dalam masalah ini mencakup semuanya, sehingga menunjukan bahwa persekutuan dalam ketiga perkara itu bersifat mutlak (umum). Karenanya, tidak ada sesuatu darinya yang dikecualikan, kecuali dengan dalil yang mengkhususkan dari keumumannya, dan bukan dengan dalil yang justru lebih umum darinya, misalnya hadits yang menetapkan bahwa tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya. Karena ia lebih umum, maka tidak layak berhujjah dengannya setelah tetapnya harta dan tetapnya ketiga perkara itu sebagai tempatnya konflik.
Sungguh, masalah kepemilikan merupakan masalah penting dalam kehidupan manusia, sebab ia bagian dari kebutuhan hidup. Manusia tidak dapat memenuhi setiap kebutuhan jasmanisnya atau nalurinya tanpa memiliki sarana pemuasnya. Sehingga manusia berusaha untuk mendapatkan semua yang dibutuhkan dan diperlukannya. Semua inilah yang membuat manusia bersaing untuk menguasai harta, dan bahkan mereka berjuang mati-matian demi menguasainya dan memperbanyak kepemilikannya. Oleh karena itu, asy-Syâri’ (pembuat hukum) datang dengan membawa hukum (ketentuan) yang mengatur penguasaan manusia terhadap harta, serta mencegah perselisihan dan setiap masalah yang mungkin terjadi sebagai akibat dari berebut untuk memilikinya.
Islam telah membuat kepemilikan menjadi tiga kategori, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan seseorang manusia sebagai individu dan masyarakat, yaitu: kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardhiyah), kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), dan kepemilikan negara (milkiyah ad-daulah).
Dalam hadits ini, Rasulullah saw mengenalkan kepada kami salah satu dari jenis-jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah). Sementara arti dari kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah) atas sesuatu adalah, bahwa semua manusia berserikat dalam kepemilikan sesuatu ini, sehingga masing-masing dari mereka memiliki hak untuk memanfaatkannya, sebab sesuatu itu tidak dikhususkan untuk dimiliki individu tertentu, dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya.
Sedangkan sesuatu yang oleh syara’ dijadikan sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), seperti yang terdapat dalam hadits tersebut adalah: air, padang rumput dan api.
Dan yang membuat sesuatu tersebut sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), dan mencegah individu tertentu untuk memilikinya, tidak lain adalah karena semua manusia sangat membutuhkannya. Sehingga ia merupakan fasilitas publik yang sangat dibutuhkan oleh komunitas selamanya. Bahkan sebuah komunitas akan tercerai-berai untuk mencarinya jika sesuatu itu sangat sedikit atau habis. Dalam hal ini, Somalia merupakan contoh nyata masalah ini, dimana orang-orang meninggalkan desa dan kota-kota mereka, akibat paceklik, kekurangan air dan padang rumput, sehingga mereka bercerai-berai di dalam negeri untuk mencari fasilitas vital ini. Bahkan untuk mendapatkan sesuatu itu, mereka rela menghadapi penderitaan demi penderitaan.
Dan asy-Syâri’ (pembuat hukum) telah mewakilkan tugas penggunaan dan pengaturan kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah) ini kepada negara, sehingga semua manusia memungkinkan untuk memanfaatkannya dan mencegah individu-individu tertentu dari mengontrol dan menguasainya. Semua itu untuk melindungi hak-hak rakyat, menjaga stabilitas masyarakat Muslim, serta untuk menjamin ketenangan semua individu rakyat.
http://jayarakminimarket.com/trolley-barang-troli/
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-solo
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-paling-murah
Read More
« اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“
Pengarang kitab “Aunul Ma’bûd” berkata: “Saya mengikuti Nabi saw berperang sebanyak tiga kali, yakni tiga kali peperangan.”
“Dalam air“: Maksudnya adalah air yang tidak terjadi dari pencarian dan usaha seseorang, seperti air saluran pribadi, dan air sumur, serta belum dimasukkan dalam wadah, kolam atau selokan yang airnya dari sungai.
“Padang rumput“: Maksudnya adalah semua tumbuhan atau tanaman yang basah maupun yang kering.
Al-Khathabi berkata: Arti kata al-kalâ’ (padang rumput) adalah tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di tanah mati atau tanah tak bertuan yang dipelihara masyarakat, dimana tidak ada seorang pun yang memilikinya atau memagarinya. Adapun al-kalâ’ (padang rumput), jika ia berada di tanah yang ada pemiliknya, maka ia adalah miliknya, sehingga tidak seorang pun yang ikut memilikinya, kecuali dengan izin darinya.
“Dan dalam Api“. Maksud dari berserikat dalam api adalah, bahwa ia tidak dilarang menyalakan lampu darinya, dan membuat penerangan dengan cahayanya, namuan orang yang menyalakannya dilarang untuk mengambil bara api dirinya, sebab menguranginya akan menyebabkan pada padamnya api.
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan api adalah batu yang mengeluarkan api (batu api) dimana tidak dilarang mengambil sesuatu darinya jika ia berada pada tanah mati. Al-Allamah Imam al-Syaukani dalam “Nailul Authâr” berkata: Ketahuilah bahwa hadits-hadits dalam masalah ini mencakup semuanya, sehingga menunjukan bahwa persekutuan dalam ketiga perkara itu bersifat mutlak (umum). Karenanya, tidak ada sesuatu darinya yang dikecualikan, kecuali dengan dalil yang mengkhususkan dari keumumannya, dan bukan dengan dalil yang justru lebih umum darinya, misalnya hadits yang menetapkan bahwa tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya. Karena ia lebih umum, maka tidak layak berhujjah dengannya setelah tetapnya harta dan tetapnya ketiga perkara itu sebagai tempatnya konflik.
Sungguh, masalah kepemilikan merupakan masalah penting dalam kehidupan manusia, sebab ia bagian dari kebutuhan hidup. Manusia tidak dapat memenuhi setiap kebutuhan jasmanisnya atau nalurinya tanpa memiliki sarana pemuasnya. Sehingga manusia berusaha untuk mendapatkan semua yang dibutuhkan dan diperlukannya. Semua inilah yang membuat manusia bersaing untuk menguasai harta, dan bahkan mereka berjuang mati-matian demi menguasainya dan memperbanyak kepemilikannya. Oleh karena itu, asy-Syâri’ (pembuat hukum) datang dengan membawa hukum (ketentuan) yang mengatur penguasaan manusia terhadap harta, serta mencegah perselisihan dan setiap masalah yang mungkin terjadi sebagai akibat dari berebut untuk memilikinya.
Islam telah membuat kepemilikan menjadi tiga kategori, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan seseorang manusia sebagai individu dan masyarakat, yaitu: kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardhiyah), kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), dan kepemilikan negara (milkiyah ad-daulah).
Dalam hadits ini, Rasulullah saw mengenalkan kepada kami salah satu dari jenis-jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah). Sementara arti dari kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah) atas sesuatu adalah, bahwa semua manusia berserikat dalam kepemilikan sesuatu ini, sehingga masing-masing dari mereka memiliki hak untuk memanfaatkannya, sebab sesuatu itu tidak dikhususkan untuk dimiliki individu tertentu, dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya.
Sedangkan sesuatu yang oleh syara’ dijadikan sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), seperti yang terdapat dalam hadits tersebut adalah: air, padang rumput dan api.
Dan yang membuat sesuatu tersebut sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), dan mencegah individu tertentu untuk memilikinya, tidak lain adalah karena semua manusia sangat membutuhkannya. Sehingga ia merupakan fasilitas publik yang sangat dibutuhkan oleh komunitas selamanya. Bahkan sebuah komunitas akan tercerai-berai untuk mencarinya jika sesuatu itu sangat sedikit atau habis. Dalam hal ini, Somalia merupakan contoh nyata masalah ini, dimana orang-orang meninggalkan desa dan kota-kota mereka, akibat paceklik, kekurangan air dan padang rumput, sehingga mereka bercerai-berai di dalam negeri untuk mencari fasilitas vital ini. Bahkan untuk mendapatkan sesuatu itu, mereka rela menghadapi penderitaan demi penderitaan.
Dan asy-Syâri’ (pembuat hukum) telah mewakilkan tugas penggunaan dan pengaturan kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah) ini kepada negara, sehingga semua manusia memungkinkan untuk memanfaatkannya dan mencegah individu-individu tertentu dari mengontrol dan menguasainya. Semua itu untuk melindungi hak-hak rakyat, menjaga stabilitas masyarakat Muslim, serta untuk menjamin ketenangan semua individu rakyat.
http://jayarakminimarket.com/trolley-barang-troli/
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-solo
http://jayarakminimarket.com/rak-minimarket-paling-murah
Mesjid Demak: Mercusuar Politik Islam
Berbicara tentang penyebaran Islam di Nusantara tidak akan bisa dilepaskan dengan peran sentral Masjid. Ini karena memang masjid bukan sekadar menjadi tempat peribadatan ritual semata seperti sekarang ini, namun juga menjadi pusat pemerintahan. Masjid digunakan juga sebagai sarana atau tempat mengurusi permasalahan umat, mulai dari perang, ekonomi maupun penyelesaian persengketaan antarmasyarakat.
Demikian juga Masjid Agung Demak. Masjid yang tergolong masjid tertua di Indonesia ini juga digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Demak. Masjid yang berada di Glagahwangi ini didirikan pada tahun 1388 Saka atau bertepatan dengan 1466 Masehi. Ini terlihat dari tulisan yang terukir di “Pintu Bledeg” masjid tersebut.
Kehadiran Masjid Demak tidak mungkin diabaikan begitu saja peranannya dalam sejarah penyebaran Islam pada masa itu. Pentingya kekuasaan politik bagi kelangsungan dakwah menyadarkan para walisongo untuk terlibat dalam percaturan politik;1 seperti Sunan Kudus sebagai panglima perang yang menggantikan Sunan Ngudung ketika menyerang Majapahit dan dibantu oleh para wali yang lain.2
Pemanfaatan jalur kekuasaan dalam dakwah dapat dilihat juga pada proses pendiriran masjid Demak yang didirikan oleh para wali sebagai pusat dakwah, namun tidak seperti dengan mesjid lain pada umumnya. Hal ini karena Masjid Demak adalah masjid Keraton yang pengelolaanya langsung di bawah sultan yang bertahta.3
Masjid Demak dijadikan pusat peradilan. Peranan Masjid Demak tampak terlihat dari peran Kesultanan Demak dalam usaha dakwah memanggil dan mengadili Syekh Siti Jenar yang menyebarkan ajaran sesat; ia mengajarkan penyatuan Pencipta dengan makhluk-Nya. Ujungnya, Syekh Siti Jenar mengklaim bahwa dirinya sebagai titisan dari sang Pencipta. Ajaran ini menimbulkan keresahan politis dan sesat dalam pandangan Islam. Proses peradilan Siti Jenar dilaksanakan di depan sidang walisongo yang berfungsi sebagai penasihat Sultan di Masjid Agung Demak.4
Peranan wali tampak sangat dominan pada masa Demak-Pajang hingga Mataram awal. Sunan Kudus yang sangat berpengaruh pada waktu itu menetapkan pengganti Sultan Hadawijaya bukan Pangeran Benawa (putra Sultan). Sunan Kudus justru menunjuk Arya Pangiri (seorang menantu Sultan yang pada saat itu menjabat adipati Demak) untuk menduduki tahta Pajang. Prosesi ini juga berlangsung di kompleks Masjid Agung Demak.5
Memang menjadi sebuah kebiasaan bahwa dalam struktur sejarah Kesultanan Islam, lokasi Masjid berdekatan dengan pusat pemerintahan dan alun-alun (Lapangan). Karena itu, Masjid Demak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari politik Islam. Bahkan walisongo sering bermusyawarah mengenai urusan masyarakat Demak di masjid ini.
Tatkala Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak sebagai pusat pemerintahan pada tahun 1479 M, Sang Sultan menjadikan Salokantara dan Jugul Muda Kitab Undang-undang Kesultanan yang berisi tentang hukum-hukum syariah Islam. Namun, sikap toleran ditunjukkan Kesultanan Demak kepada masyarakatnya yang non-Muslim. Bahkan Sunan Gunung Djati memberikan gelar kepada Raden Patah dengan nama Sultan Ahmad Abdul Arifin setelah terinspirasi oleh pengangkatan Khalifah Sultan Salim I saat menaklukkan Kesultanan Mesir. Sunan Gunung Djati melakukan ini tepat pasca kepulangannya dari berhaji di Masjidil Haram.
Dalam peranan dakwah, letak Masjid Agung Demak yang berada di barat alun-alun Kadipaten Demak menjadi pusat peradaban dan pendidikan. Di dalam kompleks Masjid ini pembinaan fikih islam, penyebaran tsaqafah dan penguatan diri untuk pembinaan tauhid Islam begitu kental. Lamban-laun budaya Hindu-Budha yang masih melekat di masyarakat—apalagi terkait takhayul, bid’ah dan khurafat—mulai berkurang.
Di dalam ruang utama masjid, para wali yang saat itu berfungsi sebagai penasihat keagamaan dan politik Sultan biasa berkumpul. Mereka berkumpul bukan saja dalam rangka taqarrub ilalLah, tetapi juga berusaha menuntaskan masalah-masalah ditengah umat. Kebijakan pemerintah, keputusan hukum dan peranan politik sangat kental melekat dengan Masjid Agung Demak. Kesultanan Demak tidak bisa terpisahkan dengan Masjid Agung. Siar dakwah yang semakin luas memberikan tekanan besar kepada raja-raja Hindu dan Budha. Tidak aneh, Kesultanan Demak melakukan futuhat atau pelebaran wilayah kekuasaan.
Namun, prinsip luar negeri Islam yang menyampaikan dakwah dan jihad telah mengantarkan peranan kejayaan yang besar bagi Kesultanan Demak. Pati Unus pernah dikirim untuk melakukan perlawanan terhadap Portugis di Perairan Selat Malaka. Bahkan meski masa pemerintahan Pati Unus singkat, waktu yang digunakan oleh Pati Unus banyak dihabiskan di medan pertempuran. Dampaknya, jangkauan wilayah Demak semakin luas. Hal ini pula yang membuat pemerintahan Portugis ketar-ketir menghadapi ketangguhan Kesultanan Demak.
Dalam bekerja, Dewan Wali atau biasa dikenal dengan Walisongo memiliki tugas pokok dan fungsi masing-masing. Mengenai pembagian kerja Dewan Wali secara struktural, menurut hasil penelitian Widji Saksono (1996: 97-100) adalah: Sunan Ampel mengurus susunan aturan syariah dan hukum perdata, khususnya berkenaan dengan masalah nikah, talak, rujuk. Sunan Bonang merapikan aturan-aturan, termasuk di dalamnya kaidah ilmu, selain menggubah lagu, nyanyian maupun gamelan Jawa. Sunan Gresik mengubah pola dan motif batik, lurik maupun perlengkapan berkuda. Sunan Drajat mengurus hal-ihwal pembangunan rumah maupun berbagai ragam alat angkut. Sunan Majagung mengurus hal-ihwal masakan (makanan) maupun alat tani dan barang pecah-belah lainnya. Sunan Gunung Jati, selain bertugas memperbaiki doa, memberantas hal-hal khurafat dan takhayul, ia juga mempunyai tugas untuk membuka hutan, mengurus transmigrasi atau membuka desa baru (perluasan wilayah). Sunan Giri bertugas menggubah perhitungan bulan, tahun, windu; lalu menyusun dan merapikan segala perundang-undangan, termasuk urusan protokolernya. Secara teknis Sunan Giri bertugas mengurusi administrasi. Sunan Kalijaga bertugas mengurus bidang seni-budaya, misalkan menggubah dan menciptakan langgam maupun gending. Sunan Kudus bertanggungjawab atas perlengkapan persenjataan, perawatan bahan besi dan emas, juga membuat peradilan dengan undang-undang syariah. [Zain Rahman]
Catatan kaki:
1 Sejarah masing-masing wali dan keterlibatanya dalam tata politik di Jawa dapat dibaca misalnya dalam Amen Budiman, Walisanga: antara Legenda dan Fakta Sejarah (Semarang: Tanjung Sari, 1982); bandingkan dengan H. J. De Graaf, Awal Kebangkiatan Mataram, khususnya pada bab-bab awal; juga Wiji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hlm 116-143.
2 Amen Budiman, Walisanga, hlm 73-74.
3 Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri, Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, menurut penuturan Babad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 118.
4 Lembaga ini terdiri dari delapan wali, sehingga berjumlah sembilan orang dengan sultan sebagai ketuanya. Dari sini kemudian muncul salah satu pandangan bahwa walisongo bukanlah sebutan untuk sembilan orang wali secara individual, tetapi lebih merupakan lembaga dengan anggota para wali tersebut. Lembaga ini juga berfungsi sebagai dewan penasihat Kesultanan, hanya saja lembaga ini kemudian dihapuskan pada masa pemerintahan Hadiwijaya dan fungsi kepenasihatan digantikan oleh dewan nayaka (dewan menteri), yang juga berjumlah delapan orang, yang diketuai oleh; Ki M A. Machfoeld, Sunan Kalijaga, hlm 60.
5 H. J.de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, hlm. 90.
http://rayarakminimarket.com
http://jayarakminimarket.com
http://jayarak.com
http://jualrak.asia
Read More
Demikian juga Masjid Agung Demak. Masjid yang tergolong masjid tertua di Indonesia ini juga digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Demak. Masjid yang berada di Glagahwangi ini didirikan pada tahun 1388 Saka atau bertepatan dengan 1466 Masehi. Ini terlihat dari tulisan yang terukir di “Pintu Bledeg” masjid tersebut.
Kehadiran Masjid Demak tidak mungkin diabaikan begitu saja peranannya dalam sejarah penyebaran Islam pada masa itu. Pentingya kekuasaan politik bagi kelangsungan dakwah menyadarkan para walisongo untuk terlibat dalam percaturan politik;1 seperti Sunan Kudus sebagai panglima perang yang menggantikan Sunan Ngudung ketika menyerang Majapahit dan dibantu oleh para wali yang lain.2
Pemanfaatan jalur kekuasaan dalam dakwah dapat dilihat juga pada proses pendiriran masjid Demak yang didirikan oleh para wali sebagai pusat dakwah, namun tidak seperti dengan mesjid lain pada umumnya. Hal ini karena Masjid Demak adalah masjid Keraton yang pengelolaanya langsung di bawah sultan yang bertahta.3
Masjid Demak dijadikan pusat peradilan. Peranan Masjid Demak tampak terlihat dari peran Kesultanan Demak dalam usaha dakwah memanggil dan mengadili Syekh Siti Jenar yang menyebarkan ajaran sesat; ia mengajarkan penyatuan Pencipta dengan makhluk-Nya. Ujungnya, Syekh Siti Jenar mengklaim bahwa dirinya sebagai titisan dari sang Pencipta. Ajaran ini menimbulkan keresahan politis dan sesat dalam pandangan Islam. Proses peradilan Siti Jenar dilaksanakan di depan sidang walisongo yang berfungsi sebagai penasihat Sultan di Masjid Agung Demak.4
Peranan wali tampak sangat dominan pada masa Demak-Pajang hingga Mataram awal. Sunan Kudus yang sangat berpengaruh pada waktu itu menetapkan pengganti Sultan Hadawijaya bukan Pangeran Benawa (putra Sultan). Sunan Kudus justru menunjuk Arya Pangiri (seorang menantu Sultan yang pada saat itu menjabat adipati Demak) untuk menduduki tahta Pajang. Prosesi ini juga berlangsung di kompleks Masjid Agung Demak.5
Memang menjadi sebuah kebiasaan bahwa dalam struktur sejarah Kesultanan Islam, lokasi Masjid berdekatan dengan pusat pemerintahan dan alun-alun (Lapangan). Karena itu, Masjid Demak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari politik Islam. Bahkan walisongo sering bermusyawarah mengenai urusan masyarakat Demak di masjid ini.
Tatkala Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak sebagai pusat pemerintahan pada tahun 1479 M, Sang Sultan menjadikan Salokantara dan Jugul Muda Kitab Undang-undang Kesultanan yang berisi tentang hukum-hukum syariah Islam. Namun, sikap toleran ditunjukkan Kesultanan Demak kepada masyarakatnya yang non-Muslim. Bahkan Sunan Gunung Djati memberikan gelar kepada Raden Patah dengan nama Sultan Ahmad Abdul Arifin setelah terinspirasi oleh pengangkatan Khalifah Sultan Salim I saat menaklukkan Kesultanan Mesir. Sunan Gunung Djati melakukan ini tepat pasca kepulangannya dari berhaji di Masjidil Haram.
Dalam peranan dakwah, letak Masjid Agung Demak yang berada di barat alun-alun Kadipaten Demak menjadi pusat peradaban dan pendidikan. Di dalam kompleks Masjid ini pembinaan fikih islam, penyebaran tsaqafah dan penguatan diri untuk pembinaan tauhid Islam begitu kental. Lamban-laun budaya Hindu-Budha yang masih melekat di masyarakat—apalagi terkait takhayul, bid’ah dan khurafat—mulai berkurang.
Di dalam ruang utama masjid, para wali yang saat itu berfungsi sebagai penasihat keagamaan dan politik Sultan biasa berkumpul. Mereka berkumpul bukan saja dalam rangka taqarrub ilalLah, tetapi juga berusaha menuntaskan masalah-masalah ditengah umat. Kebijakan pemerintah, keputusan hukum dan peranan politik sangat kental melekat dengan Masjid Agung Demak. Kesultanan Demak tidak bisa terpisahkan dengan Masjid Agung. Siar dakwah yang semakin luas memberikan tekanan besar kepada raja-raja Hindu dan Budha. Tidak aneh, Kesultanan Demak melakukan futuhat atau pelebaran wilayah kekuasaan.
Namun, prinsip luar negeri Islam yang menyampaikan dakwah dan jihad telah mengantarkan peranan kejayaan yang besar bagi Kesultanan Demak. Pati Unus pernah dikirim untuk melakukan perlawanan terhadap Portugis di Perairan Selat Malaka. Bahkan meski masa pemerintahan Pati Unus singkat, waktu yang digunakan oleh Pati Unus banyak dihabiskan di medan pertempuran. Dampaknya, jangkauan wilayah Demak semakin luas. Hal ini pula yang membuat pemerintahan Portugis ketar-ketir menghadapi ketangguhan Kesultanan Demak.
Dalam bekerja, Dewan Wali atau biasa dikenal dengan Walisongo memiliki tugas pokok dan fungsi masing-masing. Mengenai pembagian kerja Dewan Wali secara struktural, menurut hasil penelitian Widji Saksono (1996: 97-100) adalah: Sunan Ampel mengurus susunan aturan syariah dan hukum perdata, khususnya berkenaan dengan masalah nikah, talak, rujuk. Sunan Bonang merapikan aturan-aturan, termasuk di dalamnya kaidah ilmu, selain menggubah lagu, nyanyian maupun gamelan Jawa. Sunan Gresik mengubah pola dan motif batik, lurik maupun perlengkapan berkuda. Sunan Drajat mengurus hal-ihwal pembangunan rumah maupun berbagai ragam alat angkut. Sunan Majagung mengurus hal-ihwal masakan (makanan) maupun alat tani dan barang pecah-belah lainnya. Sunan Gunung Jati, selain bertugas memperbaiki doa, memberantas hal-hal khurafat dan takhayul, ia juga mempunyai tugas untuk membuka hutan, mengurus transmigrasi atau membuka desa baru (perluasan wilayah). Sunan Giri bertugas menggubah perhitungan bulan, tahun, windu; lalu menyusun dan merapikan segala perundang-undangan, termasuk urusan protokolernya. Secara teknis Sunan Giri bertugas mengurusi administrasi. Sunan Kalijaga bertugas mengurus bidang seni-budaya, misalkan menggubah dan menciptakan langgam maupun gending. Sunan Kudus bertanggungjawab atas perlengkapan persenjataan, perawatan bahan besi dan emas, juga membuat peradilan dengan undang-undang syariah. [Zain Rahman]
Catatan kaki:
1 Sejarah masing-masing wali dan keterlibatanya dalam tata politik di Jawa dapat dibaca misalnya dalam Amen Budiman, Walisanga: antara Legenda dan Fakta Sejarah (Semarang: Tanjung Sari, 1982); bandingkan dengan H. J. De Graaf, Awal Kebangkiatan Mataram, khususnya pada bab-bab awal; juga Wiji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hlm 116-143.
2 Amen Budiman, Walisanga, hlm 73-74.
3 Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri, Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, menurut penuturan Babad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 118.
4 Lembaga ini terdiri dari delapan wali, sehingga berjumlah sembilan orang dengan sultan sebagai ketuanya. Dari sini kemudian muncul salah satu pandangan bahwa walisongo bukanlah sebutan untuk sembilan orang wali secara individual, tetapi lebih merupakan lembaga dengan anggota para wali tersebut. Lembaga ini juga berfungsi sebagai dewan penasihat Kesultanan, hanya saja lembaga ini kemudian dihapuskan pada masa pemerintahan Hadiwijaya dan fungsi kepenasihatan digantikan oleh dewan nayaka (dewan menteri), yang juga berjumlah delapan orang, yang diketuai oleh; Ki M A. Machfoeld, Sunan Kalijaga, hlm 60.
5 H. J.de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, hlm. 90.
http://rayarakminimarket.com
http://jayarakminimarket.com
http://jayarak.com
http://jualrak.asia
Ahistoris
Ada saja cara orang untuk meragukan kewajiban penegakkan syariah dan khilafah. Yang paling sering adalah mempertanyakan apa dalilnya. Namun, jangan dulu mengira mereka adalah orang-orang yang sangat kokoh berpegang pada dalil, dan khawatir betul jika menyimpang dari dalil. Itu hanya trik saja untuk menyerang lawan. Pasalnya, saat yang sama mereka sama sekali tidak pernah mempertanyakan apa dalil dari sekularisme, kapitalisme dan demokrasi yang mereka dukung mati-matian; juga di mana landasan al-Quran dan al-Hadis dari sikap mereka yang tak henti menyerang pihak-pihak yang ingin menegakkan syariah secara kaffah dalam bingkai khilafah.
Bukan hanya mempertanyakan dalil, bahkan keabsahan dalil yang ada pun mereka persoalkan. Contohnya hadis riwayat Ahmad tentang bakal berdirinya kembali Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Nadirsyah Hosen dalam buku Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila (Expose Publika, 2014) mempertanyakan keabsahan hadis tersebut. Menurut dia, hadis ini pantas diragukan karena ada ada perawi yang bernama Habib bin Salim yang dia nilai lemah. Karena itu Imam al-Bukhari dalam kitabnya At-Tarikh al-Kabir (II/318) mengomentari perawi itu dengan menyatakan, “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Menurut Hosen, inilah sebabnya mengapa Imam al-Bukhari tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tersebut. Selain itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut sehingga “kelemahan” sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.
Padahal perkataan Imam al-Bukhari “fihi nazhar” mengenai seorang perawi hadis tidaklah selalu melemahkan hadis yang dia riwayatkan apalagi menegasikan hadis tersebut. Bisa jadi para ahli hadis lainnya menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (terpercaya), yang menghimpun karakter ‘adil (takwa) dan dhabith (kuat hapalannya).
Selain dalil, mereka juga sering menyatakan bahwa perjuangan penegakkan Khilafah tidak punya dasar historis, alias ahistoris. Ini tentu juga hanya untuk meragukan umat tentang arah perjuangan yang sangat mulia ini. Pasalnya, sesungguhnya fakta sejarah tentang hal itu sangatlah melimpah.
Nah, berkaitan dengan dasar historis perjuangan Khilafah, menarik apa yang diungkap oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sambutan pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 yang diselenggarakan di Pagelaran Kraton Yogyakarta pada 9 Februari lalu. Kongres 5 tahunan itu berlangsung dari tanggal 8 hingga 11 Februari. Kongres diikuti tidak kurang dari 700 peserta utusan MUI Pusat dan Daerah, utusan Ormas Islam tingkat Pusat, perwakilan pesantren dan perguruan tinggi Islam serta para tokoh.
Dalam sambutannya, Sri Sultan mengungkap beberapa fakta sejarah, yang mungkin belum banyak orang tahu, yaitu tentang hubungan Kekhilafahan Turki Utsmani dengan sejumlah kesultanan di Tanah Jawa. Di antaranya, kata Sultan, pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa (perwakilan Kekhalifahan Islam [Turki] untuk Tanah Jawa), dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya kini tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil Kekhalifahan Turki.
Dari secuil fakta yang diungkap oleh Sultan HB X tersebut, kita mendapatkan beberapa pelajaran. Pertama: Khilafah yang ketika itu berpusat di Istambul, Turki, adalah intitusi politik Islam yang kekuasaannya melintas batas dari apa yang sekarang disebut sebagai negara bangsa (nation state) hingga mencapai wilayah Nusantara. Guna mengendalikan kekuasaannya yang terbentang ke berbagai wilayah itu, Khilafah mengangkat para wali dan amil, termasuk untuk wilayah Jawa. Pengukuhan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa atau perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, adalah bukti nyata dari adanya rentang kendali kekuasaan itu.
Kedua: Berkat Khilafahlah dakwah Islam bisa sampai ke wilayah Nusantara, termasuk ke Tanah Jawa. Ini karena memang salah satu tugas utama Khilafah adalah melaksanakan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Hal ini diperkuat oleh fakta sejarah lain: Khilafah Utsmani, sebagaimana disebut dalam buku Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Tanah Jawa (Budiono Hadi Sutrisno, 2010), melalui wali (gubernur)-nya, mengutus para ulama untuk menyebarkan Islam di Bumi Nusantara. Pada tahun 808 H/1404 M untuk pertama kali para ulama utusan Sultan Muhammad I dari Khilafah Utsmani ke Pulau Jawa kelak dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, ahli tata pemerintahan dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Muaulana Aliyuddin dari Palestina dan Syaikh Subakir dari Persia. Sebelum ke Tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai, yang telah kontak dengan Kekhilafahan lebih dulu. Ukhuwah yang terjalin erat antara Aceh dan Kekhilafahan itulah yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah.
Dari fakta tersebut nyata bahwa Islam bisa berkembang ke Tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya berkat dakwah yang dilakukan oleh Khalifah, dengan kata lain, melalui dakwah struktural, selain melalui dakwah kultural, seperti yang sering disebut oleh banyak pihak.
Selain itu, ungkap Sultan, pada tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda. Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara.
++++
Sejarah memang bukan sumber hukum (masdar al-hukm), bukan pula sumber pemikiran (masdar at-tafkir). Namun, sejarah bisa menjadi bukti paling nyata tentang apa yang pernah terjadi. Dari sejarah kita bisa melakukan rekonstruksi bangunan utuh sebuah peristiwa, gagasan dan bahkan peradaban, seperti peradaban Islam yang pernah membentang ke berbagai wilayah dunia ratusan tahun lamanya di bawah naungan Khilafah.
Mengingat tidak semua orang punya akses langsung terhadap peristiwa sejarah, maka pengungkapan sumber sejarah menjadi sangat penting. Sumber sejarah bisa berupa catatan-catatan sejarah, bisa juga barang-barang penyerta dalam peristiwa sejarah. Apa yang disampaikan oleh Sri Sultan dalam pembukaan KUII lalu tentu saja berasal dari sumber sejarah yang valid yang disampaikan oleh sosok Sultan yang tentu juga “valid”. Apalagi catatan sejarah itu juga dilengkapi dengan bukti sejarah berupa bendera (meski hanya duplikat) yang masih tersimpan dengan baik di Kraton Yogyakarta. Oleh karena itu, bagi Muslim yang ikhlas, sekelumit fakta yang disampaikan oleh Sultan tersebut mestinya semakin memperkokoh keyakinan tentang keagungan Khilafah dan kewajiban untuk memperjuangkan kembali Khilafah; bukan sebaliknya justru mencari-cari jalan untuk menimbulkan keraguan di tengah umat.
Jadi jelas sekali, menolak perjuangan Khilafah justru merupakan tindakan ahistoris (tidak berdasarkan fakta sejarah). Penolakan itu juga merupakan tindak pengkhianatan terhadap perjuangan umat Islam pada masa lalu, dan yang pasti merupakan pengingkaran terhadap perintah Allah SWT.
AlLahu’alam bi ash-shawab. [HM Ismail Yusanto]
http://rayarakminimarket.com
http://jayarakminimarket.com
http://jayarak.com
http://jualrak.asia
Read More
Bukan hanya mempertanyakan dalil, bahkan keabsahan dalil yang ada pun mereka persoalkan. Contohnya hadis riwayat Ahmad tentang bakal berdirinya kembali Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Nadirsyah Hosen dalam buku Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila (Expose Publika, 2014) mempertanyakan keabsahan hadis tersebut. Menurut dia, hadis ini pantas diragukan karena ada ada perawi yang bernama Habib bin Salim yang dia nilai lemah. Karena itu Imam al-Bukhari dalam kitabnya At-Tarikh al-Kabir (II/318) mengomentari perawi itu dengan menyatakan, “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Menurut Hosen, inilah sebabnya mengapa Imam al-Bukhari tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tersebut. Selain itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut sehingga “kelemahan” sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.
Padahal perkataan Imam al-Bukhari “fihi nazhar” mengenai seorang perawi hadis tidaklah selalu melemahkan hadis yang dia riwayatkan apalagi menegasikan hadis tersebut. Bisa jadi para ahli hadis lainnya menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (terpercaya), yang menghimpun karakter ‘adil (takwa) dan dhabith (kuat hapalannya).
Selain dalil, mereka juga sering menyatakan bahwa perjuangan penegakkan Khilafah tidak punya dasar historis, alias ahistoris. Ini tentu juga hanya untuk meragukan umat tentang arah perjuangan yang sangat mulia ini. Pasalnya, sesungguhnya fakta sejarah tentang hal itu sangatlah melimpah.
Nah, berkaitan dengan dasar historis perjuangan Khilafah, menarik apa yang diungkap oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sambutan pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 yang diselenggarakan di Pagelaran Kraton Yogyakarta pada 9 Februari lalu. Kongres 5 tahunan itu berlangsung dari tanggal 8 hingga 11 Februari. Kongres diikuti tidak kurang dari 700 peserta utusan MUI Pusat dan Daerah, utusan Ormas Islam tingkat Pusat, perwakilan pesantren dan perguruan tinggi Islam serta para tokoh.
Dalam sambutannya, Sri Sultan mengungkap beberapa fakta sejarah, yang mungkin belum banyak orang tahu, yaitu tentang hubungan Kekhilafahan Turki Utsmani dengan sejumlah kesultanan di Tanah Jawa. Di antaranya, kata Sultan, pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa (perwakilan Kekhalifahan Islam [Turki] untuk Tanah Jawa), dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya kini tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil Kekhalifahan Turki.
Dari secuil fakta yang diungkap oleh Sultan HB X tersebut, kita mendapatkan beberapa pelajaran. Pertama: Khilafah yang ketika itu berpusat di Istambul, Turki, adalah intitusi politik Islam yang kekuasaannya melintas batas dari apa yang sekarang disebut sebagai negara bangsa (nation state) hingga mencapai wilayah Nusantara. Guna mengendalikan kekuasaannya yang terbentang ke berbagai wilayah itu, Khilafah mengangkat para wali dan amil, termasuk untuk wilayah Jawa. Pengukuhan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa atau perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, adalah bukti nyata dari adanya rentang kendali kekuasaan itu.
Kedua: Berkat Khilafahlah dakwah Islam bisa sampai ke wilayah Nusantara, termasuk ke Tanah Jawa. Ini karena memang salah satu tugas utama Khilafah adalah melaksanakan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Hal ini diperkuat oleh fakta sejarah lain: Khilafah Utsmani, sebagaimana disebut dalam buku Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Tanah Jawa (Budiono Hadi Sutrisno, 2010), melalui wali (gubernur)-nya, mengutus para ulama untuk menyebarkan Islam di Bumi Nusantara. Pada tahun 808 H/1404 M untuk pertama kali para ulama utusan Sultan Muhammad I dari Khilafah Utsmani ke Pulau Jawa kelak dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, ahli tata pemerintahan dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Muaulana Aliyuddin dari Palestina dan Syaikh Subakir dari Persia. Sebelum ke Tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai, yang telah kontak dengan Kekhilafahan lebih dulu. Ukhuwah yang terjalin erat antara Aceh dan Kekhilafahan itulah yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah.
Dari fakta tersebut nyata bahwa Islam bisa berkembang ke Tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya berkat dakwah yang dilakukan oleh Khalifah, dengan kata lain, melalui dakwah struktural, selain melalui dakwah kultural, seperti yang sering disebut oleh banyak pihak.
Selain itu, ungkap Sultan, pada tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda. Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara.
++++
Sejarah memang bukan sumber hukum (masdar al-hukm), bukan pula sumber pemikiran (masdar at-tafkir). Namun, sejarah bisa menjadi bukti paling nyata tentang apa yang pernah terjadi. Dari sejarah kita bisa melakukan rekonstruksi bangunan utuh sebuah peristiwa, gagasan dan bahkan peradaban, seperti peradaban Islam yang pernah membentang ke berbagai wilayah dunia ratusan tahun lamanya di bawah naungan Khilafah.
Mengingat tidak semua orang punya akses langsung terhadap peristiwa sejarah, maka pengungkapan sumber sejarah menjadi sangat penting. Sumber sejarah bisa berupa catatan-catatan sejarah, bisa juga barang-barang penyerta dalam peristiwa sejarah. Apa yang disampaikan oleh Sri Sultan dalam pembukaan KUII lalu tentu saja berasal dari sumber sejarah yang valid yang disampaikan oleh sosok Sultan yang tentu juga “valid”. Apalagi catatan sejarah itu juga dilengkapi dengan bukti sejarah berupa bendera (meski hanya duplikat) yang masih tersimpan dengan baik di Kraton Yogyakarta. Oleh karena itu, bagi Muslim yang ikhlas, sekelumit fakta yang disampaikan oleh Sultan tersebut mestinya semakin memperkokoh keyakinan tentang keagungan Khilafah dan kewajiban untuk memperjuangkan kembali Khilafah; bukan sebaliknya justru mencari-cari jalan untuk menimbulkan keraguan di tengah umat.
Jadi jelas sekali, menolak perjuangan Khilafah justru merupakan tindakan ahistoris (tidak berdasarkan fakta sejarah). Penolakan itu juga merupakan tindak pengkhianatan terhadap perjuangan umat Islam pada masa lalu, dan yang pasti merupakan pengingkaran terhadap perintah Allah SWT.
AlLahu’alam bi ash-shawab. [HM Ismail Yusanto]
http://rayarakminimarket.com
http://jayarakminimarket.com
http://jayarak.com
http://jualrak.asia
Merayakan Idul Fitri di Dalam Negara Khilafah
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Islam telah mensyariatkan hari raya bagi umatnya, sehingga umat Islam bisa merayakannya, dengan perayaan yang khas sesuai dengan syariat agamanya. Dalam hal ini ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adhha. Hari raya ini pertama kali disyariatkan pada tahun ke-2 H, bersamaan dengan turunnya perintah berpuasa dan zakat fitrah. Karena itu, Idul Fitri juga disebut ‘Idu Ramadhan, dan ‘Idu al-Fitrah.
Syiar Islam
Di dalam Islam, Hari Raya, merupakan salah satu syiar Islam yang agung. Hari Raya ini juga disyariatkan untuk memenuhi dan menyempurnakan kebutuhan jiwa dan fisik umat Islam. “Katakanlah [Muhammad], dengan anugerah dan kasih sayang Allah, maka dengan itu hendaknya mereka bergembira dan berbahagia.” [TQS Yunus: 58]. Begitulah Hari Raya di dalam Islam, yang identik dengan hari bahagia, dan suka cita, yang biasanya ditandai dengan makan, minum, hiburan dan bersenang-senang. Karena itu, di dalam kedua Hari Raya ini, Islam mengharamkan berpuasa.
Ketika Nabi SAW mengetahui nyanyian dua budak perempuan kecil, baginda SAW tidak melarangnya. Sebaliknya, baginda SAW justru membenarkannya. Bahkan, saat mendengar Abu Bakar hendak melarangnya, baginda SAW pun bersabda, “Biarkanlah mereka.” [HR Bukhari] Dalam riwayat lain, baginda SAW bersabda, “Abu Bakar, setiap kaum mempunyai hari raya. Ini adalah hari raya kita.” [HR Muslim] Dalam Musnad, baginda SAW bersabda, “Agar orang Yahudi tahu, bahwa di dalam agama kita pun ada [semacam] Paskah. Aku diutus dengan membawa agama yang hanif dan lapang.” [HR Ahmad]
Suasana kebahagiaan pun dihadirkan oleh setiap keluarga, termasuk dengan menyenangkan hati pasangan hidupnya, memenuhi apa yang membuatnya bahagia, selama perkara itu dimubahkan. Nabi SAW memberikan contoh, bagaimana membahagiakan istrinya. Aisyah pun menikmati nyanyian budak perempuan kecil, sembari menempelkan pipinya ke pipi Rasulullah SAW. Maka, Aisyah ra pun berpesan, “Perkirakanlah [kadarnya] seperti kadar budak perempuan belia, yang masih ingin bermain.” [HR Muttafaq ‘Alih]. Karena biasanya dunia mereka masih membutuhkan suasana rileks dan santai.
Meski demikian, tetap harus memperhatikan rambu-rambu syariat, sehingga kesenangan dan hiburan tersebut tidak melaranggar syariat. Aisyah ra menuturkan, “Ketika orang Abesinia itu memainkan tombak mereka, Rasulullah SAW menutupiku dengan tabir, sementara aku masih bisa melihat [mereka].” [HR Bukhari] Begitulah suasana Hari Raya di rumah Nabi SAW.
Syiar makan, minum, bersenang-senang dan suka cita tidak hanya dimiliki oleh yang berkecukupan. Islam pun mensyariatkan zakat fitrah untuk dibagikan, khususnya kepada fakir dan miskin, agar di hari bahagia itu mereka pun bisa merasakan hal yang sama. Zakat fitrah ini pun disyariatkan pada tahun ke-2 H. Sedangkan zakat mal baru disyariatkan kemudian.
Melengkapi Kebahagiaan
Karena Islam mengajarkan, bahwa bahagia tidak identik dengan kenikmatan materi, fisik dan psikologis, tetapi kebahagiaan yang hakiki itu adalah kebahagiaan ruhiyah. Karena itu, selain syiar-syiar dalam bentuk fisik, seperti jamuan makan, minum dan hiburan di Hari Raya, Islam pun memerintahkan kaum Muslim untuk mengagungkan asma Allah SWT, “Dan hendaknya kamu menyempurnakan bilangan [puasa Ramadhan], dan mengagungkan Asma Allah atas apa yang telah Dia tunjukkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur.” [QS al-Baqarah: 185]
Takbir pun berkumandang sejak matahari tenggelam di malam 1 Syawal, hingga imam dan khathib naik mimbar. Di pagi hari, sebelum berangkat ke tempat shalat, kaum Muslim pun disunahkan makan dan minum terlebih dulu, yang menandai berakhirnya puasa mereka selama sebulan penuh. Setelah itu, mereka pun berangkat ke tempat shalat sambil mengumandangkan takbir sepanjang perjalanan. Bagi pria disunahkan dengan suara keras, sedangkan bagi wanita dengan suara lirih.
Shalatnya pun disunahkan di tempat terbuka, bukan di masjid. Ini menjadi syiar yang bisa disaksikan setiap mata yang memandang. Pria, wanita, tua, dan muda semuanya disunahkan untuk berangkat ke tempat shalat. Bahkan, bagi kaum wanita yang tidak mempunyai jilbab syar’i pun dianjurkan agar dipinjami oleh saudaranya, agar bisa menunaikan shalat di luar rumahnya.
Ketika melewati waktu syuruq, tidak lama kemudian imam memimpin shalat, tanpa didahului dengan shalat sunah, adzan dan iqamat. Setelah selesai shalat, imam [khatib] pun menyampaikan khutbahnya. Hanya saja, di zaman ‘Ustman, pernah khutbah disampaikan sebelum shalat. Namun, ketika ‘Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, tradisi tersebut dikembalikan sebagaimana zaman Nabi, Abu Bakar dan ‘Umar. Khutbah disampaikan setelah selesai shalat. Setelah selesai shalat, Nabi SAW mengucapkan ucapan selamat dan doa.
Setelah itu, para jamaah kembali ke rumah masing-masing melalui jalan yang berbeda, untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarganya, dengan jamuan makan, minum, hiburan dan bersenang-senang sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Semuanya tadi melengkapi kebahagiaan mereka di hari besar dan hari fitrah.
Di Negara Khilafah
Sebagaimana sunah Nabi SAW begitulah Hari Raya akan dirayakan oleh umat Islam di dalam negara khilafah. Dimulai sejak menjelang malam tanggal 29 Ramadhan, Negara Khilafah akan melakukan rukyatul hilal. Negara juga mendorong umat Islam untuk melakukan hal yang sama. Karena ini hukumnya fardu kifayah. Jika malam itu hilal ditemukan, lalu diambil sumpah hingga sah, maka khalifah akan mengumumkan istbat 1 Syawal jatuh besoknya. Jika tidak, maka hitungan Ramadhan disempurnakan, sehingga ditetapkan, 1 Syawal jatuh esok lusanya.
Di malam Hari Raya, khalifah pun menyampaikan pidatonya kepada seluruh rakyat negara khilafah untuk mengucapkan selamat dan doa, dengan mengingatkan sunah Rasulullah SAW seputar Hari Raya, dan bagaimana mestinya mereka merayakannya. Memperbanyak takbir untuk mengagungkan asma Allah. Mengingatkan kaum Muslim untuk menunaikan zakat fitrah untuk diberikan kepada fakir dan miskin di sekitar mereka. Mengajak seluruh umat Islam berbondong-bondong ke tempat shalat, menunaikan shalat Idul Fitri. Bagi kaum perempuan yang tidak bisa keluar rumah, karena tidak mempunyai jilbab, maka diserukan bagi saudaranya untuk meminjaminya.
Sejak matahari tenggelam, stasiun televisi, radio maupun yang lain mengumandangkan takbir hingga imam [khatib] naik di atas mimbar. Di ibukota negara khilafah, khalifah memimpin shalat dan menyampaikan khutbahnya. Shalat dan khutbah khalifah akan dipancarkan ke seluruh dunia, sehingga pesan-pesan penting khutbahnya bisa diterima oleh umat Islam di seluruh dunia.
Di zaman Khilafah ‘Abbasiyyah, para khalifah biasa melakukan jamuan makan setelah pelaksanaan shalat Idul Fitri. Bahkan, di era Ikhsyidiyyah, dilakukan parade militer. Semuanya ini sebagai ekspresi syukur kepada Allah SWT tentu tidak salah. Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi SAW, ketika membiarkan orang Abesinia bermain tombak di hadapan baginda dan istri tercintanya, Aisyah ra.
Karena itu, jika cara yang sama hendak digunakan oleh negara khilafah, semuanya itu diserahkan pada pandangan dan ijtihad khalifah. Jika khalifah memandang perlu, baik untuk membangun semangat maupun rasa percaya diri kaum Muslim dalam menghadapi situasi politik global, misalnya, maka kebijakan tersebut bisa saja dieksekusi.
Begitulah, Idul Fitri dirayakan oleh umat Islam, sebagai umat terbaik, pemimpin seluruh umat manusia di muka bumi ini. http://rayarakminimarket.com
http://jayarakminimarket.com
http://jayarak.com
http://jualrak.asia
Maafkan Aku Karena Mencintai Suamimu
Sudah waktunya aku menikah. Itulah yang sering terlintas dalam jiwaku. Usiaku yang sudah beranjak 23 tahun, membuat keinginan dan asa itu semakin kuat dalam diri ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang pasti ditolong oleh Allah: orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin menebus dirinya (dengan membayar uang kepada majikannya) dan orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR.at-Tirmidzi, no. 1655 dan an-Nasa-I, no. 3120, dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani).
“…dan orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” Hadits ini, adalah salah satu motivasiku ingin segera menikah.
Terlebih lagi jika mengingat salah satu hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa ketaatan seorang istri terhadap suami termasuk sebab yang menyebabkan masuk surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Subhanallah, ini semakin menggodaku untuk menikah.
Ah, tapi dengan siapa? pikirku yang memang hingga saat ini belum menemukan ikhwan datang kepada orangtua untuk melamarku.
Aku yakin, Allah telah tetapkan seseorang untukku. Tapi, sebagai manusia biasa, aku merasa gundah. Semakin gundah hati ini.
Suatu hari aku mendapat sms dari kawan sekantor bahwa ada rapat bersama bos di sebuah café, di kota tetanggaku, tak jauh dari kotaku hanya memakan waktu beberapa jam.
Saat itu, adalah kedua kalinya aku mengikuti rapat. Hari pertama rapat dengan bos. Maklum aku kerja di tempat yang berbeda dari kru lainnya. Jadi, tentu saja jarang bertemu dengan kawan-kawan sepekerjaan lainnya.
Datanglah aku ke sebuah café bersama seorang akhwat yang lebih senior di kalangan karyawan akhwat. Singkat cerita, kami pun rapat membahas masalah-masalah pekerjaan.
Ada rasa penasaran di hatiku kala itu. Ada seorang karyawan yang namanya sering disebut-sebut bos tak hadir dalam rapat. Dia ikhwan. Aku, bahkan temanku yang akhwat senior itu juga tidak pernah tahu tentangnya.
Ah, segera ku tepis rasa penasaran itu.
Rapat sempat tertunda karena panggilan shalat ashar telah datang. Tak lama setelah shalat ashar, datanglah seorang ikhwan. “Assalamu’alaykum,” katanya. “Wa’alaykumussalam,” jawab kami. Kemudian Bos memperkenalkannya pada kami. Sebut saja namanya Abdullah.
“Perkenalkan, ini Abdullah,” kata bos kepada kami.
Aku sempat melihatnya sekilas, namun tak memperhatikannya. Dalam hati terbersit “Oh ini Abdullah.” Ia adalah termasuk karyawan teladan di kantor kami.
Ternyata ia masih terlihat muda. Namun terkejutlah aku saat ia dipanggil “Ustadz.”
Wah, kurang sopan sekali jika aku jika memanggilnya “bang.” Bos, jika mendiskusikan soal pekerjaan, sering menyebut Abdullah. Ku pikir, ia hanya ikhwan biasa karena bos memanggilnya “bang Abdullah.” Maka, jika aku pun berdiskusi soal masalah pekerjaan yang berhubungan dengan Abdullah dengan bos, maka aku jadi ikut-ikutan bos dengan menyebutnya “bang Abdullah.”
Ada perasaan lucu sekaligus tak enak di hatiku saat tahu bahwa ia adalah seorang ustadz.
Tak lama, rapatpun selesai. Dan kami pulang ke rumah masing-masing. Masih, saat itu tak ada di antara kami yang tahu identitas asli Abdullah. Ia memang karyawan spesial, pikirku.
Saat dalam perjalanan pulang, ternyata hatiku masih penasaran dengan Abdullah. Aku bertanya kepada teman kerjaku, akhwat senior itu. Basa-basi aku berkata, “Ustadz Abdullah itu orang sini?” tanyaku. “engga tahu deh,” jawab temanku. Lalu temanku, yang juga jadi penasaran, bertanya kepada supir yang diminta bos mengantar kami. “Kurang tahu ya,” kata supir itu.
Mendengar jawaban mereka, semakin penasaranlah aku siapa Abdullah sebenarnya. Tapi, aku tak pernah berani menanyakan itu kepada bos. Lagipula tak ada urusannya dengan pekerjaan kami. Fokus saja pada pekerjaan masing-masing.
Aku dan Abdullah tak satu kantor. Bos adalah orang yang paham agama, sehingga karyawan akhwat dan ikhwan tidak kerja bersama dalam satu kantor. Alhamdulillah, aku merasa beruntung bekerja di sini.
Setelah rapat di café itu, sekitar satu bulan, Abdullah mulai lebih terbuka dengan berkomunikasi dengan karyawan lainnya. Sehingga hubungan antar karyawan lebih terkoordinasi. Terlebih, ia adalah ikhwan yang senior di kantor kami.
Bos pernah memberitahu kami, jika ada suatu hal yang tak kami pahami, kami bisa bertanya pada Ustadz Abdullah.
Singkat cerita, aku sempat beberapa kali berkomunikasi melalui pesan dengan Abdullah. Tentu saja karena ia memiliki urusan pekerjaan denganku.
Tak ku sangka, Abdullah telah mengetahui beberapa hal tentang diriku. Karena bos sering menceritakan tentang aku. Maklum, aku sempat sering kali sakit sehingga jadi bahan pembicaraan orang-orang kantor.
Hubungan kami sebagai sesama karyawan, berlangsung seperti biasanya. Hanya saja, pasca rapat itu, aku dan karyawan lainnya lebih mengenal Abdullah. Ternyata selain ia sangat rajin bekerja, ia juga sangat perhatian dan pengertian dengan karyawan lainnya. Dan, Abdullah ternyata telah menikah dan memiliki anak. Hanya saja telah bertahun-tahun ia tidak tinggal bersama dengan istri dan anaknya karena pekerjaan di sini.
Karyawan lain, termasuk leaderku, sering berkonsultasi padanya. Aku semakin melihat, memang ia adalah karyawan spesial.
Selang beberapa bulan, tak sampai dua bulan pasca rapat itu. Abdullah mengutarakan niatnya padaku, bahwa ia memiliki keinginan untuk meminangku!
Betapa kagetnya aku kala itu.
Tapi, ku pikir, awalnya ia hanya bercanda saja. Ah, diakan telah memiliki istri dan anak.
Tetapi, ia tegaskan bahwa ia memiliki keinginan memperistriku.
Masih tak yakin dan menganggap itu sebagai gurauan. Tapi, ternyata hatiku tak bisa melupakan itu begitu saja. Allah Maha Tahu segala isi hati.
Di satu sisi, aku sangat bahagia. Karena, saat itu aku memang sedang menanti-nanti ada ikhwan yang melamarku. Abdullah kian membuatku yakin bahwa niatnya itu bukan main-main, ia serius.
Tapi di sisi lain, betapa sedihnya aku. Saat menyadari bahwa ia telah menikah. Sungguh bukan aku menentang Syariat poligami yang dibolehkan Allah. Tetapi hambatan yang kami lihat sangat banyak.
Entahlah, aku merasa “klik” dengannya. Entah perasaan apa ini. Kami hanya bertemu sekali, itupun sekilas saja saat rapat. Abdullah mengatakan bahwa sejak pertama melihatku di café itu ia telah tertarik padaku. Padahal, kala itu ia tidak melihat wajahku karena ia berusaha menundukkan pandangannya.
Allah yang Maha Mengetahui segala isi hati. Allah tahu bahwa akupun memiliki perasaan yang sama dengannya.
Setelah kami melihat hambatan-hambatan yang nampak begitu sulit dihadapi. Abdullah pun memutuskan untuk mundur. Ia katakan bahwa ia sudah tak sanggup memperjuangkanku. “Maaf atas kelemahanku,” katanya.
Perih di hati sudah tak bisa disembunyikan lagi. Dia yang Maha Melihat tahu butiran air mataku mengalir deras. “Yaa Allah, berikan hati ini kelapangan untuk menerima Qadarmu.”
Ku pikir, aku akan mudah melupakan. Tapi ternyata, semakin hari aku merasa hati ini semakin kuat. Semakin aku yakin bahwa dialah yang aku harapkan selama ini. Aku mengadu padaNya, bahwa aku mencintainya!
“Yaa Allah, aku mencintainya karena Engkau, aku ingin menikah dengannya!”
Tapi, garis tangan tak bisa ku tentang. Aku harus ikhlash dengan ketetapanNya.
Baiklah, biar ku ceritakan hambatan yang membuat Abdullah mundur dari memperjuangkan akhwat yang ia sebut “istimewa” ini. Sungguh, aku merasa tak sebaik seperti yang ia pikirkan tentang aku. Allah Maha Mengetahui. Semoga Allah mengampuniku atas apa yang orang lain katakan, dan menjadikanku lebih baik dari yang mereka katakan.
Abdullah, sudah ku katakan ia telah menikah. Ya, salah satu penyebab terberat baginya untuk tidak meminangku adalah karena istrinya tidak ingin dimadu. Abdullah khawatir, jika istrinya tidak ridho, maka akan terjadi perselisihan di keluarganya. Tak hanya antara Abdullah dan istrinya, tapi juga dengan keluarga istrinya dan keluarganya. Ia menjelaskan panjang lebar perihal hambatan yang ia hadapi.
Subhanallah, aku paham mengapa istrinya tak ingin dimadu. Mereka telah bertahun-tahun tak bersama karena Abdullah harus bertugas di luar kota. Sementara, pekerjaannya ini, tak memungkinkan baginya membawa anak dan istri. Aku terharu dengan pengorbanan istrinya. Kesabarannya, kesetiaannya, sungguh tak bisa dibandingkan dengan kesedihanku merelakan Abdullah.
Telah beberapa kali Abdullah menyinggung masalah poligami dengan istrinya. Tetapi tampaknya istri sangat keberatan dan tidak mau dimadu.
Aku tidak mencela kelemahan istrinya, apalagi membencinya. Aku sadar, mungkin jika aku berada di posisinya, akupun akan keberatan dimadu. Allah yang membolak-balikkan hati kita.
Betapapun perihnya hati ini karena tak bisa menikah dengan ikhwan yang aku cenderung padanya, tak bisa dibandingkan dengan pengorbanan istri Abdullah. Siapalah aku ini, hanya akhwat biasa yang ingin menikah demi menjaga kesucian diri dan menjadi istri shalihah demi menggapai ridho Allah. Qadarallah, bertemu ikhwan yang sudah menikah.
Mungkin, orang akan mencelaku karena mencintai suami orang. Tapi siapa yang bisa menahan hati yang berada di jari-jari Ar-Rahman? Dialah yang membolak balikkan hati. Jika boleh memilih, setiap wanita tidak akan mau mencintai orang yang sudah menikah. Tapi, aku hanyalah akhwat yang lemah yang tak kuat menahan rasa yang seharusnya lebih pantas ada setelah jalinan halal, menikah. Semoga Allah mengampuniku.
“Ukhti..maafkan aku mencintai suamimu. Aku memahami perasaanmu yang berat berbagi suami dengan saudarimu ini. Tapi, andai engkau pun mau memahami saudarimu ini. Bukan aku yang menetapkan ikhwan mana yang berniat menikahiku. Tapi Allah, yang Maha Pencipta. Qadarallah, suamimu lah yang memiliki niat menikahiku, menerima aku apa adanya. Tapi, jika memang Qadarallah mengatakan aku bukan untuknya, insya Allah aku ikhlash. Semoga engkau selalu berbahagia bersamanya. Uhibbuki fillah. Doaku menyertai kalian, insya Allah. Semoga Allah mengumpulkan kita di Jannah-Nya.”
Demikianlah, segores tinta dalam catatan hidupku. Cerita singkat yang mungkin akan dikatakan orang “roman picisan.”
Aku yakin, Allah telah menetapkan yang terbaik bagiku. Ini, menjadi renungan bagiku. Ini, insya Allah akan menjadi pelajaran bagiku kelak. Jika kelak, aku panjang umur dan menikah dengan ikhwan lain. Lalu, suatu saat suamiku ingin menikah lagi dengan akhwat yang ia cintai karena Allah, semoga Allah memberikan hatiku kelapangan untuk berbagi dengan saudariku.
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”. (HR. Bukhari)
Aku tidak mencela kekurangan saudariku, sungguh aku pun manusia yang memiliki banyak kekurangan.
Biarlah ku titipkan cinta ini kepada Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Semoga cinta ini semata-mata karenaNya. Sehingga bisa menjadi penyebab mendapatkan naunganNya di hari kiamat nanti.
Oleh: Salsabila
http://rayarakminimarket.com
http://jayarakminimarket.com
http://jayarak.com
http://jualrak.asia
Read More
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang pasti ditolong oleh Allah: orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin menebus dirinya (dengan membayar uang kepada majikannya) dan orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR.at-Tirmidzi, no. 1655 dan an-Nasa-I, no. 3120, dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani).
“…dan orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” Hadits ini, adalah salah satu motivasiku ingin segera menikah.
Terlebih lagi jika mengingat salah satu hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa ketaatan seorang istri terhadap suami termasuk sebab yang menyebabkan masuk surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Subhanallah, ini semakin menggodaku untuk menikah.
Ah, tapi dengan siapa? pikirku yang memang hingga saat ini belum menemukan ikhwan datang kepada orangtua untuk melamarku.
Aku yakin, Allah telah tetapkan seseorang untukku. Tapi, sebagai manusia biasa, aku merasa gundah. Semakin gundah hati ini.
Suatu hari aku mendapat sms dari kawan sekantor bahwa ada rapat bersama bos di sebuah café, di kota tetanggaku, tak jauh dari kotaku hanya memakan waktu beberapa jam.
Saat itu, adalah kedua kalinya aku mengikuti rapat. Hari pertama rapat dengan bos. Maklum aku kerja di tempat yang berbeda dari kru lainnya. Jadi, tentu saja jarang bertemu dengan kawan-kawan sepekerjaan lainnya.
Datanglah aku ke sebuah café bersama seorang akhwat yang lebih senior di kalangan karyawan akhwat. Singkat cerita, kami pun rapat membahas masalah-masalah pekerjaan.
Ada rasa penasaran di hatiku kala itu. Ada seorang karyawan yang namanya sering disebut-sebut bos tak hadir dalam rapat. Dia ikhwan. Aku, bahkan temanku yang akhwat senior itu juga tidak pernah tahu tentangnya.
Ah, segera ku tepis rasa penasaran itu.
Rapat sempat tertunda karena panggilan shalat ashar telah datang. Tak lama setelah shalat ashar, datanglah seorang ikhwan. “Assalamu’alaykum,” katanya. “Wa’alaykumussalam,” jawab kami. Kemudian Bos memperkenalkannya pada kami. Sebut saja namanya Abdullah.
“Perkenalkan, ini Abdullah,” kata bos kepada kami.
Aku sempat melihatnya sekilas, namun tak memperhatikannya. Dalam hati terbersit “Oh ini Abdullah.” Ia adalah termasuk karyawan teladan di kantor kami.
Ternyata ia masih terlihat muda. Namun terkejutlah aku saat ia dipanggil “Ustadz.”
Wah, kurang sopan sekali jika aku jika memanggilnya “bang.” Bos, jika mendiskusikan soal pekerjaan, sering menyebut Abdullah. Ku pikir, ia hanya ikhwan biasa karena bos memanggilnya “bang Abdullah.” Maka, jika aku pun berdiskusi soal masalah pekerjaan yang berhubungan dengan Abdullah dengan bos, maka aku jadi ikut-ikutan bos dengan menyebutnya “bang Abdullah.”
Ada perasaan lucu sekaligus tak enak di hatiku saat tahu bahwa ia adalah seorang ustadz.
Tak lama, rapatpun selesai. Dan kami pulang ke rumah masing-masing. Masih, saat itu tak ada di antara kami yang tahu identitas asli Abdullah. Ia memang karyawan spesial, pikirku.
Saat dalam perjalanan pulang, ternyata hatiku masih penasaran dengan Abdullah. Aku bertanya kepada teman kerjaku, akhwat senior itu. Basa-basi aku berkata, “Ustadz Abdullah itu orang sini?” tanyaku. “engga tahu deh,” jawab temanku. Lalu temanku, yang juga jadi penasaran, bertanya kepada supir yang diminta bos mengantar kami. “Kurang tahu ya,” kata supir itu.
Mendengar jawaban mereka, semakin penasaranlah aku siapa Abdullah sebenarnya. Tapi, aku tak pernah berani menanyakan itu kepada bos. Lagipula tak ada urusannya dengan pekerjaan kami. Fokus saja pada pekerjaan masing-masing.
Aku dan Abdullah tak satu kantor. Bos adalah orang yang paham agama, sehingga karyawan akhwat dan ikhwan tidak kerja bersama dalam satu kantor. Alhamdulillah, aku merasa beruntung bekerja di sini.
Setelah rapat di café itu, sekitar satu bulan, Abdullah mulai lebih terbuka dengan berkomunikasi dengan karyawan lainnya. Sehingga hubungan antar karyawan lebih terkoordinasi. Terlebih, ia adalah ikhwan yang senior di kantor kami.
Bos pernah memberitahu kami, jika ada suatu hal yang tak kami pahami, kami bisa bertanya pada Ustadz Abdullah.
Singkat cerita, aku sempat beberapa kali berkomunikasi melalui pesan dengan Abdullah. Tentu saja karena ia memiliki urusan pekerjaan denganku.
Tak ku sangka, Abdullah telah mengetahui beberapa hal tentang diriku. Karena bos sering menceritakan tentang aku. Maklum, aku sempat sering kali sakit sehingga jadi bahan pembicaraan orang-orang kantor.
Hubungan kami sebagai sesama karyawan, berlangsung seperti biasanya. Hanya saja, pasca rapat itu, aku dan karyawan lainnya lebih mengenal Abdullah. Ternyata selain ia sangat rajin bekerja, ia juga sangat perhatian dan pengertian dengan karyawan lainnya. Dan, Abdullah ternyata telah menikah dan memiliki anak. Hanya saja telah bertahun-tahun ia tidak tinggal bersama dengan istri dan anaknya karena pekerjaan di sini.
Karyawan lain, termasuk leaderku, sering berkonsultasi padanya. Aku semakin melihat, memang ia adalah karyawan spesial.
Selang beberapa bulan, tak sampai dua bulan pasca rapat itu. Abdullah mengutarakan niatnya padaku, bahwa ia memiliki keinginan untuk meminangku!
Betapa kagetnya aku kala itu.
Tapi, ku pikir, awalnya ia hanya bercanda saja. Ah, diakan telah memiliki istri dan anak.
Tetapi, ia tegaskan bahwa ia memiliki keinginan memperistriku.
Masih tak yakin dan menganggap itu sebagai gurauan. Tapi, ternyata hatiku tak bisa melupakan itu begitu saja. Allah Maha Tahu segala isi hati.
Di satu sisi, aku sangat bahagia. Karena, saat itu aku memang sedang menanti-nanti ada ikhwan yang melamarku. Abdullah kian membuatku yakin bahwa niatnya itu bukan main-main, ia serius.
Tapi di sisi lain, betapa sedihnya aku. Saat menyadari bahwa ia telah menikah. Sungguh bukan aku menentang Syariat poligami yang dibolehkan Allah. Tetapi hambatan yang kami lihat sangat banyak.
Entahlah, aku merasa “klik” dengannya. Entah perasaan apa ini. Kami hanya bertemu sekali, itupun sekilas saja saat rapat. Abdullah mengatakan bahwa sejak pertama melihatku di café itu ia telah tertarik padaku. Padahal, kala itu ia tidak melihat wajahku karena ia berusaha menundukkan pandangannya.
Allah yang Maha Mengetahui segala isi hati. Allah tahu bahwa akupun memiliki perasaan yang sama dengannya.
Setelah kami melihat hambatan-hambatan yang nampak begitu sulit dihadapi. Abdullah pun memutuskan untuk mundur. Ia katakan bahwa ia sudah tak sanggup memperjuangkanku. “Maaf atas kelemahanku,” katanya.
Perih di hati sudah tak bisa disembunyikan lagi. Dia yang Maha Melihat tahu butiran air mataku mengalir deras. “Yaa Allah, berikan hati ini kelapangan untuk menerima Qadarmu.”
Ku pikir, aku akan mudah melupakan. Tapi ternyata, semakin hari aku merasa hati ini semakin kuat. Semakin aku yakin bahwa dialah yang aku harapkan selama ini. Aku mengadu padaNya, bahwa aku mencintainya!
“Yaa Allah, aku mencintainya karena Engkau, aku ingin menikah dengannya!”
Tapi, garis tangan tak bisa ku tentang. Aku harus ikhlash dengan ketetapanNya.
Baiklah, biar ku ceritakan hambatan yang membuat Abdullah mundur dari memperjuangkan akhwat yang ia sebut “istimewa” ini. Sungguh, aku merasa tak sebaik seperti yang ia pikirkan tentang aku. Allah Maha Mengetahui. Semoga Allah mengampuniku atas apa yang orang lain katakan, dan menjadikanku lebih baik dari yang mereka katakan.
Abdullah, sudah ku katakan ia telah menikah. Ya, salah satu penyebab terberat baginya untuk tidak meminangku adalah karena istrinya tidak ingin dimadu. Abdullah khawatir, jika istrinya tidak ridho, maka akan terjadi perselisihan di keluarganya. Tak hanya antara Abdullah dan istrinya, tapi juga dengan keluarga istrinya dan keluarganya. Ia menjelaskan panjang lebar perihal hambatan yang ia hadapi.
Subhanallah, aku paham mengapa istrinya tak ingin dimadu. Mereka telah bertahun-tahun tak bersama karena Abdullah harus bertugas di luar kota. Sementara, pekerjaannya ini, tak memungkinkan baginya membawa anak dan istri. Aku terharu dengan pengorbanan istrinya. Kesabarannya, kesetiaannya, sungguh tak bisa dibandingkan dengan kesedihanku merelakan Abdullah.
Telah beberapa kali Abdullah menyinggung masalah poligami dengan istrinya. Tetapi tampaknya istri sangat keberatan dan tidak mau dimadu.
Aku tidak mencela kelemahan istrinya, apalagi membencinya. Aku sadar, mungkin jika aku berada di posisinya, akupun akan keberatan dimadu. Allah yang membolak-balikkan hati kita.
Betapapun perihnya hati ini karena tak bisa menikah dengan ikhwan yang aku cenderung padanya, tak bisa dibandingkan dengan pengorbanan istri Abdullah. Siapalah aku ini, hanya akhwat biasa yang ingin menikah demi menjaga kesucian diri dan menjadi istri shalihah demi menggapai ridho Allah. Qadarallah, bertemu ikhwan yang sudah menikah.
Mungkin, orang akan mencelaku karena mencintai suami orang. Tapi siapa yang bisa menahan hati yang berada di jari-jari Ar-Rahman? Dialah yang membolak balikkan hati. Jika boleh memilih, setiap wanita tidak akan mau mencintai orang yang sudah menikah. Tapi, aku hanyalah akhwat yang lemah yang tak kuat menahan rasa yang seharusnya lebih pantas ada setelah jalinan halal, menikah. Semoga Allah mengampuniku.
“Ukhti..maafkan aku mencintai suamimu. Aku memahami perasaanmu yang berat berbagi suami dengan saudarimu ini. Tapi, andai engkau pun mau memahami saudarimu ini. Bukan aku yang menetapkan ikhwan mana yang berniat menikahiku. Tapi Allah, yang Maha Pencipta. Qadarallah, suamimu lah yang memiliki niat menikahiku, menerima aku apa adanya. Tapi, jika memang Qadarallah mengatakan aku bukan untuknya, insya Allah aku ikhlash. Semoga engkau selalu berbahagia bersamanya. Uhibbuki fillah. Doaku menyertai kalian, insya Allah. Semoga Allah mengumpulkan kita di Jannah-Nya.”
Demikianlah, segores tinta dalam catatan hidupku. Cerita singkat yang mungkin akan dikatakan orang “roman picisan.”
Aku yakin, Allah telah menetapkan yang terbaik bagiku. Ini, menjadi renungan bagiku. Ini, insya Allah akan menjadi pelajaran bagiku kelak. Jika kelak, aku panjang umur dan menikah dengan ikhwan lain. Lalu, suatu saat suamiku ingin menikah lagi dengan akhwat yang ia cintai karena Allah, semoga Allah memberikan hatiku kelapangan untuk berbagi dengan saudariku.
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”. (HR. Bukhari)
Aku tidak mencela kekurangan saudariku, sungguh aku pun manusia yang memiliki banyak kekurangan.
Biarlah ku titipkan cinta ini kepada Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Semoga cinta ini semata-mata karenaNya. Sehingga bisa menjadi penyebab mendapatkan naunganNya di hari kiamat nanti.
Oleh: Salsabila
http://rayarakminimarket.com
http://jayarakminimarket.com
http://jayarak.com
http://jualrak.asia
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
search this website
email updates
Like us on facebook
Blog Archive
-
2015
(77)
- Agustus (14)
- Juli (1)
-
Juni
(8)
- Troli Lipat Multifunction Folder Trolley rakminima...
- Surat-surat Nabi Muhammad SAW Kepada Para Raja
- Ternyata Malaikat Izra’il Menziarahi Kita Setiap 2...
- Kaum Muslim Berserikat Dalam Tiga Hal
- Mesjid Demak: Mercusuar Politik Islam
- Ahistoris
- Merayakan Idul Fitri di Dalam Negara Khilafah
- Maafkan Aku Karena Mencintai Suamimu
- Mei (11)
- Januari (43)
Popular Posts
-
Berikut Gambar dan Spesifikasi Rak Gantungan Baju 6 Arah produk unggulan dari kami . Rak Gantungan Baju 6 Arah menjadikan bisnis toko/minim...
-
Berikut Gambar dan Spesifikasi Rak Gawang Baju produk unggulan dari kami . Rak gawang baju menjadikan bisnis toko/minimarket/supermarket and...
-
Berikut gambar dan spesifikasi Rak Snack Merk Hummer salah satu Produk berkualitas kami . Rak Snack Hummer menunjang usaha toko/minimarket a...
-
Berikut Gambar dan Spesifikasi Rak Gantungan Baju 2 Arah produk unggulan dari kami . Rak Gantungan Baju 2 Arah menjadikan bisnis toko/minima...
-
Berikut Gambar dan spesifikasi Rak Galon 3 susun, produk berkualitas kami diproduksi untuk memenuhi kebutuhan rak anda. ...
-
Berikut gambar dan spesifikasi Rak Gudang (Knock Down Tanpa Baut ), yang merupakan bagian dari produk Rak Gudang unggulan kami . Rak Guda...
-
Berikut gambar dan spesifikasi Rak Gudang /Rak Siku/Rak Besi (Rekondisi), yang merupakan bagian dari produk Rak Gudang unggulan kami . Rak ...
-
PINTU PUTAR HIDUP STAINLESS by pasarrak 26/11/2014 | 2:14 7 Posted in Jual Rak , Pintu Putar PINTU PUTAR HIDUP STAINLESS DIS...
-
Agen Distributor Jual Kopi Morgan Coffee Agen Distributor Jual Kopi Morgan Coffee http://herbal-grosir.com Kopi Morgan Coffee Ready...
-
PINTU PUTAR BOX SINGLE by pasarrak 26/11/2014 | 1:48 1 Posted in Jual Rak , Pintu Putar PINTU PUTAR BOX SINGLE DISTRIBUTOR P...
© Jual Rak Gudang dan Rak Minimarket 2013 . Powered by Bootstrap , Blogger templates and RWD Testing Tool Published..rakminimarket.co